AMUK

Aziz Abdul Gofar
Chapter #11

Usaha Memutus Siklus

Seorang peraih Nobel Kimia tahun 1988, Robert Huber, mengatakan bahwa dunia ini terwujud karena segala sesuatunya sudah sesuai dengan tempatnya. Everything is in proper place! Tuhan adalah yang mendahulukan dan mengakhirkan segala sesuatu sesuai dengan tempatnya. Apa yang dikatakan profesor peraih Nobel itu setidaknya membantu menemukan jawaban dari pertanyaanku sendiri, di mana seharusnya tempatku?

Pada semester enam, aku mengajukan cuti kuliah ke kampus. Meski sebelumnya aku sempat berpikir untuk berhenti kuliah barang satu atau dua tahun, atau bahkan meninggalkan pendidikan di perguruan tinggi. Kadang aku berpikir untuk mengambil bidang keilmuan lain di perguruan tinggi yang lain atau mencari warna di kota asing yang belum pernah kukenali sebelumnya. Pikiran semacam itu sering membawaku kepada anasir-anasir atas tujuan hidup dan bagaimana aku akan menjalani kehidupanku. 

Di lain sisi, rutinitas kehidupan sehari-hari kurasa mulai membosankan. Kehidupan kampus yang cenderung statis dan formalistik, bertemu orang-orang yang sama dan tempat-tempat sama, mengerjakan sesuatu yang berulang-ulang, semua itu bagaikan siklus lingkaran yang tak juga berujung. Meski beberapa kegiatan kemahasiswaan baik di dalam atau di luar kampus memberikan warna dan ghiroh tersendiri, tetap saja aroma sebagai mahasiswa itu tak dapat dihilangkan, aku tetap membawa identitasku sebagai pelajar dengan semua warna dan konsekuensi yang selalu melekat.

Dunia perguruan tinggi memang terus bergerak dinamis untuk dapat menempatkan dirinya di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang juga tak pernah berhenti bergerak. Dan dengan demikian, perguruan tinggi akan terus berlari mengejar kualitas dan memantapkan posisinya di antara perguruan-perguruan tinggi lain. Kualitas perguruan tinggi itu tentu saja dapat diukur dengan melihat kemantapan tradisi akademiknya. Di dalam hal ini, sebelumnya aku tak pernah melihat bagaimana tradisi akademik itu diperlukan dalam memilih perguruan tinggi. Selain karena reputasinya yang sudah dikenal luas, orang memilih sebuah perguruan tinggi karena statusnya, jurusan bidang disiplin keilmuan dan beberapa alasan personal yang berbeda satu sama lain. 

Di kemudian hari, setelah lebih dari dua tahun belajar di perguruan tinggi, aku melihat bagaimana tidak mudahnya kemantapan tradisi akademik itu terbangun, meskipun berakhir dengan menggerutu, “mengapa repot-repot memikirkan persoalan tradisi akademik?” tetapi kujawab sendiri, “setidaknya aku masih sebagai civitas akademik.” Dan lagi-lagi aku harus berhadapan dengan persoalan-persoalan di lingkup falsafah yang rumit dan berlanjut pada sisi etis dan hukum-hukum akademis.

Karya-karya akademik yang kukenal seperti buku-buku diktat yang kupakai, publikasi ilmiah dan forum-forumnya, pada akhirnya akan membentuk atmosfer yang membawa pada sebuah siklus yang tak berujung. Apakah harus berakhir, jika sudah menjadi jalan hidup? Dan bukankah jalan lain juga memiliki siklusnya sendiri? Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi batu kecil ketika aku berupaya memutus siklusku, setidaknya untuk sementara waktu. 

Kampus memang selalu memperlihatkan keteraturan dan menawarkan tatanan yang rapi, seragam dan nyaris sempurna. Gedung-gedung dibangun teratur, dipisahkan oleh pagar-pagar dan jalan-jalan lurus yang di kanan kirinya ditanami pohon-pohon sejenis. Bukan hanya yang nampak secara indrawi, keteraturan dan tatanan yang rapi itu juga berwujud pada aturan-aturan yang dilembagakan oleh kampus, mulai dari fakultas, unit dan lembaga yang ada di bawah naungan perguruan tinggi. Masing-masing fakultas memiliki aturan-aturan yang berbeda satu sama lain, begitu pula dengan nilai-nilai yang mereka junjung, tetapi semua itu tetap menunjukkan bahwa semuanya serba teratur dan tertata rapi. Bukankah semua kerapian dan keteraturan yang demikian pada akhirnya juga akan menyisakan kejenuhan?



Satu petang ketika aku dan Sojo baru keluar dari kos-kosan untuk mencari makan, aku berkeluh tentang kejenuhan yang kurasakan itu. Sojo sepertinya pernah mengalami fase yang kukeluhkan dan dengan gayanya yang ekspresif menyampaikan nasihat bijaknya. 

“Pendidikan itu siklus besar. Kamu tahu jika setiap yang hidup pasti memiliki siklus masing-masing? Meski masing-masing siklus itu memiliki bentuknya sendiri-sendiri. Apakah kamu mengira aku tidak pernah mengalami apa yang kamu keluhkan ini? Apa kamu mengira orang-orang yang ada di dalam kos-kosan ini tidak mengalami kejenuhan, keputus-asaan dan keinginan untuk melarikan diri dari rutinitas dan kebosanan? Apakah tidak?”

“Tetap saja ini siklus besar, yang kelewat panjang bagiku,” jawabku saat itu.

“Terus kamu mau bagaimana? Mau berhenti kuliah? Lalu mau apa?”

“Aku berpikir untuk berhenti kuliah, setidaknya barang satu atau dua semester. Atau bisa jadi aku berhenti kuliah barang dua tahun dan jika masih ada keinginan untuk menempuh studi di perguruan tinggi, aku akan mengambil kampus lain dan bisa jadi di kota lain, atau juga aku akan pindah ke negara lain, ke Jepang misalnya. Bukankah dengan demikian aku memiliki sudut pandang lain?”

“Apa maksud sudut pandang itu?”

“Maksudku, aku memiliki cara pandang yang lain jika dibandingkan dengan orang-orang yang sekarang sedang berada di dalam posisiku.”

“Bagaimana dengan orang tuamu? Apa kamu sudah memikirkannya juga?”

“Orang tuaku bukan tipe orangtua-orangtua seperti yang kamu cemaskan itu.”

“Aku tidak mencemaskan, aku melihat diriku sendiri jika berada di posisi mereka.”

“Apa yang kamu lihat jika ada di dalam posisi orangtuaku?”

“Aku pasti merasakan sakit hati, setidak-tidaknya kecewa.”

Lihat selengkapnya