AMUK

Aziz Abdul Gofar
Chapter #12

Berlari, Kembali Mencari

Apa artinya hidup jika bukan untuk terus mencari, membangun, mengatasi masalah-masalah, ingin mendapatkan dan memiliki sesuatu, berjuang untuk sebuah tujuan. Meskipun pada akhirnya tidak semua dapat tercapai, tidak semua persoalan dapat diselesaikan dan tidak semua tujuan dapat tertunaikan. Namun, hasil bukan milik manusia. Segala pencapaian dan kegagalan sudah memiliki tempatnya sendiri-sendiri. sekarang, aku yang berlari dan kembali mencari apa-apa yang sesungguhnya kubutuhkan. Aku kembali mencari bukan di tempat lain yang jauh dan asing, tetapi aku berlari pulang ke Yogyakarta dan kembali mencari.

Sepulang dari Nias, aku memutuskan pindah hunian dari Kaliurang Atas. Tahun-tahun di Yogyakarta sudah kulalui di sana, di bawah Merapi bersama dengan ingatan dan cahaya dari jejak-jejak yang mengelupas. Melalui internet, kudapatkan penawaran yang baru saja diunggah pemiliknya. Sebuah paviliun di Kotagede yang hanya terdiri dari dua buah di belakang rumah utama. Ini lebih baik dari pada pilihan lain yang tidak jauh berbeda dengan hunian sewa yang kutinggali sekarang. Aku ingin ketenangan. Aku rela membayar lebih untuk mendapatkan atmosfer yang mendukung agar aku dapat nyaman menulis. Dan tentu saja untuk kenyamanan menyelesaikan tugas akhir yang sudah kumulai menyusunnya.

Aku bukan penulis yang sesungguhnya. Tetapi aku ingin menjadi penulis sejak sekolah di Papua. Keinginan itu semakin dalam dan tidak mungkin aku dapat mengalihkan lagi. Meski belum dapat memastikan apa saja yang akan kutulis, maksudku secara khusus akan menjadi bentuk apa tulisanku nanti. Mungkin akan menjadi buku etnografis, novel atau mungkin buku volunter guide, aku belum memutuskan.

Kuhubungi nomor seluler yang dicantumkan dalam iklan. Perempuan di seberang telepon ternyata tidak di Yogyakarta, tetapi tinggal di Surabaya. Paviliun yang diiklankan itu milik Ibunya yang tinggal di Kotagede. Setelah menanyakan beberapa kepastian seperti akses jalan dan fasilitas lain, kuputuskan untuk mengambil paviliun itu. Aku sudah merasa cocok dan tidak ada yang perlu ditanyakan, tinggal menemui pemiliknya. Lagi pula aku adalah orang pertama yang akan menghuni satu dari dua paviliun itu.

Dari pool Kaliurang Atas, setelah empat kali Transjogja berhenti di mulut pool menelan satu persatu penumpang yang menunggu bersamaku, Transjogja ruteku membawaku ke arah selatan menuju Kotagede. Sejak pulang dari Nias, hasratku bertemu orang-orang di kota ini seperti aliran Sungai Gomo di pedalaman Nias. Aku merasa memiliki kedekatan yang tidak dapat kujelaskan bagaimana kedekatanku dengan orang-orang, meski tanpa mengenal seperti ini menjadi kebutuhan. Padahal aku memilih menjadi bebas tanpa sebuah kebutuhan yang dapat sewaktu-waktu menjadi pengikat dan belenggu bagiku. Atau sesungguhnya, setelah setahun di pulau itu, aku terjangkit kesadaran akan kebutuhan untuk melepaskan diri dari kebebasan itu? Terdengar aneh untuk siapapun, tak terkecuali juga bagiku. Bagaimana bisa melepas kebebasan dengan cara melebur dan bergantung kepada orang-orang?   

Kusadari sekarang, kebebasan yang kudapatkan dahulu membawa konsekuensi logis munculnya keindividuan dariku. Dan bersama keindividuan itu lahirlah isolasi, pemisahan dari yang umum, sampai membuatku berada di dalam keterasinganku sendiri yang pada akhirnya aku terjebak kebingungan dan tercekam kegelisahan. Siapa yang sanggup hidup demikian? Aku pun tidak sanggup. Maka pelarianku dari kebebasan itulah yang mungkin saja menuntun dan membawaku sampai ke Nias dan sekarang kembali lagi di Yogyakarta. 

Transjogja sudah dua kali menurunkan dan membawa penumpang dari satu pool ke pool berikutnya, kulihat barisan kendaraan di persimpangan Ringroad Utara menunggu trafic-light. Pemandangan yang sudah setahun tak kudapati membawa ke ingatan pertemuan dengan kekasihku sebelum aku ke Nias. Malam itu di kamarku, kami berbincang seperti yang sudah-sudah, membahas apapun yang kami pertentangkan.

“Kamu tidak memilik karakter menjadi penulis. Semua orang bisa menulis, tetapi tidak semua yang menulis menjadi penulis. Kamu mungkin belum tahu, tapi paham maksudku.” Aku mengerti jika Sojo tidak ingin mendebat pilihanku, tepatnya bakal pilihan yang masih berupa janin yang kuperlihatkan hasil rontgen kepadanya. 

“Apakah penulis membutuhkan karakter dirinya sebagai penulis saat menulis?”

Laki-laki usia akhir dua puluhan tahun itu diam mendengar pertanyaan yang berbalik. Dia selalu berpikir dialah sumber determinasi, terlebih pada saat ketika kami dalam diskusi analitik, tipikal mahasiswa calon sutradara. Dia sering lupa bagaimana determinasiku. 

“Kamu lupa, jika karakter seseorang selain dilahirkan dari faktor biologis melalui dorongan-dorongan, represi dan alam bawah sadarnya, mereka dideterminasi oleh masyarakat terutama bagaimana ia memenuhi kebutuhan hidup atau tepatnya oleh sistem ekonominya.”

“Aku tahu kamu mengambil determinasi itu dari Freud dan Marx. Tetapi kamu tidak menjawab pertanyaanku, apakah menjadi penulis membutuhkan determinasi karakter?”

“Apa jadinya jika penulis tidak memiliki karakter?”

“Kamu yang lupa. Atau mereka, Freud dan Marx yang tidak mengenalinya, jika kita dapat melebihi determinasi itu. Bukankah kamu sering memuja-muja gagasan tentang kebebasan? Dan sekarang kamu sudah purna mewujudkan gagasan tentang kebebasan itu di dalam hidupmu melalui pilihan dan kesempatan yang diberikan Tuhan. Jadi, aku tidak akan mengatakan berulang kali jika kebebasan karakteristik utama dari sifat dasar manusia.”

“Aku tahu. Aku tahu itu. Kebebasan.” Sojo menghisap rokoknya pelan tetapi dalam dan lama, menelan asapnya sampai tidak ada yang keluar dari mulut atau lubang hidung.

“Kebebasan itu adalah hal sulit, bahkan sangat sulit untuk kita miliki. Kalau pun kita mendapat kebebasan itu dan kita mampu, sudah pasti kita akan lari darinya,” sambungnya. 

Lihat selengkapnya