AMUK

Aziz Abdul Gofar
Chapter #13

Paviliun Kotagede

Aku belum pernah bertemu dengan orang yang menghuni paviliun di sebelah, memang Mbak Yuli berkata kalau akan ada yang menyewanya, tetapi tidak mengatakan lebih detail lagi siapa yang akan menjadi tetanggaku itu. Rupanya penghuni baru paviliun sebelah kurang lebih hampir sama denganku yang sangat membutuhkan privasi dan berusaha meminimalkan setiap ancaman gangguan dari mana saja, termasuk dari orang-orang yang tinggal di sekitar.

Dengan demikian, aku juga tidak perlu memberikan keramahan seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang baru dikenalnya dan akan memiliki relasi hubungan personal untuk saat yang akan datang. Meski pada kenyataannya aku juga lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah sehingga tidak banyak mendapat kesempatan untuk bertemu dengan tetangga dan orang-orang di sekitarku.

 Selama ini, aku tidak pernah bertemu dengan orang lain selain Bu Kunto, Mbak Yuli dan saudara kandung Bu Kunto yang sedang berkunjung ke rumah Bu Kunto, Rusdi, seorang pengusaha hiburan yang sedang mengalami kebangkrutan. Laki-laki itu tiba-tiba mengingatkan kepada sosok asing yang pernah kutemui sebelum ke Ascenseur. Jika mereka berdua sedang duduk bersebelahan, bagi orang yang tak mengenali sepertiku, mungkin mengira mereka itu saudara kembar atau setidaknya kakak beradik. 

Setidaknya, aku membangun duniaku dengan beberapa hal yang kuanggap kebaikan yang dapat memberikan manfaat di kemudian hari. Tidak perlu kututup-tutupi, aku membuat dunia itu dari membaca buku, melihat film-film yang kusewa atau dari salinan bajakan yang bertebaran di warnet. Sesekali aku menyalakan televisi yang tidak dapat menarik lebih lama perhatianku jika bukan sedikit acara dari saluran TV berita.

Jika malam sedang cerah, aku kerap keluar rumah dan memandangi langit malam. Awan yang terlihat bagaikan gumpalan kapuk yang hanya diam atau pada lain malam mereka juga bergerak perlahan, membawaku kepada ingatan-ingatan yang jauh di dalam kesunyian diri dan mengendap bersama bentangan waktu yang kujalani. Awan-awan itu pada lain malam juga menumpuk seperti lembaran padat sebelum angin menyingkirkannya dan mengganti malam dengan tebaran bintang. Meski rumah-rumah di Kotagede padat dan berada di dalam lorong-lorong, di samping kanan paviliunku masih berupa tanah terbuka yang banyak terdapat pohon-pohon buah dan belukar. Dari sana, sering kudengar derik jangkrik yang menenangkan hatiku. 

 Kupikir-pikir, keadaanku sekarang memang seperti orang yang lari dari pengasingan yang satu ke pengasingan yang lain. Bukankah aku ke Nias karena ingin memutus kejenuhan yang tidak lain merupakan salah satu mata rantai keterasingan? Iya. Keterasingan dari siklus pendidikanku. Namun, ternyata di Nias aku pun kehilangan tujuan. Tidak kudapati semangat altruis, spirit membangun kemanusiaan dalam peranku sebagai relawan. Aku pun kembali ke kota ini, kembali mendirikan pengasingan yang lain.

 Kemarin, aku baru melihat satu film dari daftar panjang film yang belum kulihat dan mengendap di dalam komputerku. Sebetulnya sudah lebih dari tiga kali aku memutarnya, tetapi selalu kuganti dengan film lain karena dalam belasan menit mengikuti irama ceritanya, selalu berbuah kejenuhan. Film Turki itu mengisahkan pencarian jasad korban pembunuhan dikubur di antara perbukitan yang nampak serupa sehingga sulit dikenali sekaligus menumbuhkan rasa keterasingan bagi siapa saja yang berada di sana. 

Dataran luas dan hening itu berada sepuluh kilometer dari kota terdekat, berlokasi di Turki utara yang berbatasan dengan Georgia. Dahulu aku tidak melihat film yang menjenuhkan itu karena mungkin aku merasa tidak memiliki ikatan atau persamaan apapun. Namun, setelah dari Nias, perbukitan yang bergelombang itu membawa ingatanku kembali ke Nias. Namun, jelas berbeda. Film itu menampakkan perbukitan yang menghamparkan rerumputan, berbatu dan hanya sedikit pohon yang tumbuh di atasnya dan jauh dari aktivitas manusia. Bukankah tempat seperti itu menggambarkan dengan baik dari rasa keterasinganku? 


Sebelumnya, juga sudah kuselesaikan membaca sebuah novel dari penulis Turki, Orhan Pamuk. Tentu saja aku tidak mengidentikkan diriku ke dalam si perempuan berambut merah, juga bukan pada karakter utama, seorang anak laki-laki yang bekerja sebagai asisten penggali sumur yang terlibat hubungan dengan si perempuan berambut merah. Namanya Cem, entah mengapa nama itu bagiku terdengar sangat aneh untuk dipakai laki-laki sebagai namanya. Ia menjadi penggali sumur tidak lain untuk mencari biaya pendidikannya setelah ayahnya pergi meninggalkan ia dan ibunya. 

Sangat menarik karena rahasia puluhan tahun ayahnya akhirnya terbongkar, perempuan berambut merah yang berprofesi sebagai aktris teater keliling tidak lain adalah kekasih ayahnya saat mereka sama-sama menjadi aktivis gerakkan bawah tanah di Turki yang terpaksa kawin dengan orang lain. Namun, Cem yang masih berusia tujuh belas tahun itu meniduri perempuan bekas kekasih ayahnya dan tanpa sepengetahuannya hubungan yang hanya seperti kilatan kilat di malam yang tak terduga itu membuahkan keturunan. Cem lari meninggalkan Kota Ongoren bukan karena itu, tetapi karena merasa telah membunuh Tuan Mahmut, seorang penggali sumur yang telah banyak menggali tanah di Turki mencari sumber air tanah.

Pada titik ini, aku menengok pada diriku sendiri. Bukankah selama ini aku melakukan apa yang dilakukan Cem? Melarikan diri! Bukan, aku tidak seperti itu. Kondisiku tidak sama seperti apa yang dialami tokohnya Pamuk itu. Namun, aku justru merasa memiliki kedekatan kondisi dengan anaknya Cem dengan perempuan berambut merah, Enver. Bukankah anak laki-laki yang selalu mencari sosok ayahnya yang juga seorang penyair itu menggambarkan dengan baik bagaimana anak muda seperti kami selalu mencari dan sering berlari menciptakan jejak kehidupannya sendiri.

Lihat selengkapnya