AMUK

Aziz Abdul Gofar
Chapter #14

Dua Kubu

Kasno Bowor berjalan mengendap-endap keluar dari pintu belakang rumahnya, meski tidak ada siapa-siapa di malam buta itu. Seperti bayangan yang menyatu dengan kegelapan, Kasno akhirnya menghilang di setapak jalan di balik Pohon Jambu. Di sebuah kebun pisang yang tidak jauh dari rumah Leman, dua orang sudah menunggu kedatangan Kasno. Dari balik pagar, Kasno mengeluarkan suara seperti burung hantu sebagai kode yang mereka sepakati. Tidak lama kemudian dua orang muncul dari bayang-bayang kegelapan rumpun pohon pisang, mereka bertiga berjalan ke arah utara.

Keesokan harinya terdengar kabar jika jaringan listrik yang mengaliri Kaliawir dengan daya yang dihasilkan dari Karangkates telah dirusak. Orang-orang sudah mengetahui siapa saja yang dapat melakukannya, meski mereka juga tidak dapat menuding langsung ke depan hidung pihak yang mereka curigai itu. Butuh tiga hari pihak PLN mengembalikan jaringan listrik itu dapat kembali berfungsi dengan dibantu orang-orang. Tentu pihak PLN akan membutuhkan waktu lebih lagi jika tidak dibantu dengan tenaga tambahan warga Kaliawir. Tiang-tiang listrik itu kembali ke tempat semula dengan menyisakan kegeraman di hati orang-orang. 

Satu pekan sebelumnya, memang terdengar kasak-kusuk jika akan ada serangan dari pihak pertambangan. Serangan itu tentu saja bukan dalam bentuk serangan terhadap fisik dan kepemilikan orang-orang desa, tetapi mereka mengerti jika serangan tersebut berupa ancaman, teror, intimidasi, atau gerakan-gerakan yang dilakukan oleh para pendukung mereka, seperti Leman dan teman-temannya. 

Meski kelompok Leman lebih banyak bergerak di bawah tanah, bergerak dalam diam dan menyerang secara tidak langsung, orang-orang Kaliawir penentang tambang banyak yang bersiap-siap di dua posko yang mereka dirikan jauh hari sebelumnya. Pos tersebut bukan hanya berfungsi sebagai tempat mengkonsolidasikan gerakan, akan tetapi seperti simbol perlawanan dan sikap penolakan terhadap penambangan.

Kaliawir kembali dalam suasana panas, seperti udara di atas tanah tandus berbatu yang terjebak mendung. Padahal belum benar-benar mereda selubung ketegangan yang menyertai pemilihan kepala desa di Kaliawir. Dari empat kandidat, dua di antaranya adalah Doleman dan Sutopo. Banyak intrik dan jebakan memperebutkan suara warga desa yang telah terpecah dalam empat kubu. Masing-masing membawa arus kepentingannya, akan tetapi kelompok Sutopo dan Doleman yang paling sengit memperebutkan kemenangan.

Beberapa peristiwa yang meresahkan pada saat menjelang pemilihan kepala desa kala itu masih terekam di kepala orang-orang, di antaranya apa yang dilakukan oleh Kasno Bowor. Malam itu, ketika orang-orang pendukung Sutopo berkumpul melekan (bergadang untuk suatu tujuan) di rumah Sutopo, dengan motor bebek dua tak Yamaha Alpha yang knalpotnya sudah dimodifikasi sehingga suaranya sangat nyaring dan berisik, Kasno membleyer-bleyer (menarik gas secara berulang-ulang) motor itu tepat di depan rumahnya. Orang-orang yang berkumpul di dalam rumah dan sebagian di emperan, melihat ulah Kasno dengan geram. 

Meski mereka paham betul jika Kasno sengaja melakukan itu untuk memancing amarah orang-orang Sutopo, tetapi mereka juga tidak bisa berbuat banyak, misalnya melarang Kasno melakukan ulah karena Kasno bisa saja beralasan jika ia bebas melakukan apa saja di rumahnya sendiri. Ahmad Syakur yang saat itu sedang berbicara dengan Martono di sudut serambi rumah, langsung berdiri dari duduknya, tetapi ditahan oleh Martono. Melihat orang-orang Sutopo tidak juga terpancing, Kasno membawa motornya melaju perlahan menuju ke rumah Doleman.

Apa yang dilakukan Kasno itu tidak lain karena dua hari sebelumnya, Ahmad Syakur terlibat cekcok dan nyaris baku hantam dengan salah seorang pendukung Doleman. Anak muda yang terpecah menjadi empat kelompok, saling memperebutkan pengaruh untuk memenangkan jagonya masing-masing. Hanya saja, dua kelompok besar pemuda ada pada kubu Sutopo dan Doleman. Meski mereka masih dapat duduk dan berkumpul bersama, tetapi suasana dan arah bicara mereka sudah saling berjauhan dan bertentangan. Anak-anak muda itu sering bertemu saat mereka bekerja di sawah atau sedang berada dalam sebuah acara kemasyarakatan. Namun setelah itu, mereka akan membentuk dan berkumpul di dalam kubunya masing-masing.

Pihak Sutopo juga tidak berarti hanya diam dan menunggu. Ahmad Syukur dan empat orang pemuda lainnya menanam pohon pisang di tengah jalan di dekat balai desa. Jalan yang sudah lama berlubang itu hanya ditimbun dengan tanah liat dan kembali menganga jika tergerus kendaraan dan air hujan. Doleman yang masih bekerja di kantor desa, sangat marah. Namun ia tidak bisa berbuat banyak karena ia pernah menyangkal sendiri jika tanggungjawab perbaikan jalan di dekat kantor desa itu dari pemerintah kabupaten, bukan pemerintahan desa yang sedang dipimpinnya. Padahal, LMD dan tokoh-tokoh desa banyak yang setuju untuk memperbaiki kerusakan jalan yang sudah beberapa kali membuat orang jatuh dari kendaraannya dengan uang desa atau iuran sukarela, Doleman justru membangun gardu baru tidak jauh dari rumahnya.

Setelah Sutopo terpilih menjadi kepala desa yang baru menggantikan Doleman, kubu yang saling bersitegang perlahan-lahan melebur kembali. Namun, sisa-sisa ketegangan yang berakar dari permusuhan sebelumnya masih nampak di dua kelompok yang dahulu memang saling bertentangan, kelompok Sutopo dan Doleman. Dua kelompok yang bersitegang tersebut pada kenyataannya bukan lagi perkara pemilihan kepala desa, tetapi perkara-perkara yang lebih prinsipil di dalam hidup keseharian, seperti perekonomian dan nilai-nilai yang dipercayai.

Lihat selengkapnya