Kuliah Pengantar Kebudayaan dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan singkat tentang kebudayaan-kebudayaan nusantara yang masih sedikit diketahui, di antaranya kebudayaan di Nias dan pulau-pulau kecil di sekitar gugusan kepulauan Nusa Tenggara. Meski kebudayaan-kebudayaan itu sebetulnya kebudayaan yang mandiri, kokoh dan memiliki akar yang kuat. Dari kursi di balik mejanya, Kuncoro lantas berdiri dan berjalan ke barisan belakang, seperti ingin melepaskan kepenatan dan kegelisahannya. Padahal, belum ada dua puluh menit ia duduk dan sibuk menyiapkan kuliah yang akan dibawakannya.
Sebagian besar mahasiswa, jika tidak dikatakan semua orang di kampusnya, sudah mengetahui apa yang dialami Kuncoro. Ketika Santi bertemu dengan Kuncoro di Sositet saat pementasan beberapa waktu yang lalu, Kuncoro memang terlihat banyak diam di antara yang lain. Farid tidak menceritakan apa-apa perihal salah satu dosennya itu, pertemuan pertamanya itu tidak mengejutkan bagi Santi, sebab Farid sudah memberi tahunya bahwa salah satu rekan sutradara pementasan yang sedang mereka kerjakan adalah dosennya di kampus. Bagi Santi, hal itu juga tidak berarti apa-apa karena Kuncoro memang dikenalinya sebagai pegiat kesenian dan mengampu beberapa mata kuliah serumpun di fakultasnya.
Santi masih mengingat ketika Kuncoro membawa megafon ke dalam kelas. Dengan volume rendah, Kuncoro memakai pengeras suara itu untuk mengajar. Ia mengatakan kalau tenggorokannya sedang sakit sehingga membutuhkan alat bantu agar suaranya terdengar oleh mahasiswanya. Hanya saja, alasan Kuncoro itu seperti dibuat-buat atau hanya untuk menutupi sesuatu. Hal itu dilakukannya karena ia memang ingin melakukannya, seperti ingin berteriak dengan cara berbeda. Meneriakkan udara yang mengerumun di dalam dada, udara itu memiliki tekanan tinggi dan harus dikeluarkan dengan hati-hati.
Kegilaan-kegilaan kecil di dalam kampus seperti itu, sebetulnya tidak menarik Santi ke dalam pemikiran lebih lama. Kegilaan-kegilaan kecil seperti itu bagi sebagian orang bisa saja menjadi bahan gosip yang dapat bertahan lama, sembari menunggu bahan-bahan lain muncul. Dengan situasinya sekarang, Santi tidak ingin mengambil bagian dalam gosip-gosip yang ada di sekitarnya. Situasi pekerjaan yang ternyata harus dipertimbangkan dan dipikirkannya dalam-dalam karena bertubrukan dengan kuliahnya. Padahal shift kerja yang diambilnya bisa ditukar dengan beberapa orang yang sudah pernah dimintai tolong.
Hanya saja, kondisi itu jelas tidak bisa dilakukannya terus-menerus. Sudah dua mata kuliah di semester ini terpaksa absen beberapa kali karena shift yang tidak dapat mencari orang yang mau menggantikannya. Sedangkan bekerja dan kuliah baginya seperti dua muka mata uang yang harus ada dan saling menggenapkan. Jika salah satu rusak bahkan jika tidak ada, maka tidak akan ada lagi kehidupan yang diinginkannya.
Sudah pasti tujuannya dahulu pergi dari Kaliawir sebetulnya untuk meneruskan jenjang pendidikan, ia ingin merubah nasib dengan memperbaikinya melalui pendidikan yang baik. Walaupun untuk mendapatkan kesempatan itu, ia mesti merelakan diri melewati jalan terjal dan mengandung resiko besar. Ketika di Sagan, kesempatan untuk kuliah itu terampas oleh kebutuhan untuk mempertahankan keberlangsungan hidup. Jika ada uang yang dapat disimpan, itu pun tidak dapat membawanya ke bangku kuliah karena ia tidak memiliki waktu. Di sisi lain, apa yang dikatakan teman-temannya di sana dan tentu saja Om Rusdi yang seperti sudah menjadi induk semangnya jika ia nekat kuliah dan berangkat dari Sagan?
Meminta bantuan Farid? Pikiran itu tidak pernah melekat di benak Santi. Kekasihnya itu tetap menjadi kekasih dengan dunianya, bukan dunia yang mereka jalani sebagi bagian dari ruang bersama yang dapat menyimpan berbagai persoalan. Memang dalam beberapa kesempatan, kehadiran Farid bagaikan pahlawan atau bagian yang sangat penting, misalnya dalam urusan kejiwaan dan bagian-bagian hidup yang tidak terkait dengan materi. Farid sendiri pada kenyataannya juga sering kekurangan uang, tetapi ia masih mendapat bantuan dari orang tua walaupun tidak rutin setiap bulan dan bisa dikatakan tidak seberapa.
Bagaimana dengan Halimah? Teman perempuan dari kampung halamannya itu sering memberinya sesuatu seperti pakaian atau makanan, tetapi ia tahu bahwa jika uang yang dipakai Halimah itu dari pemberian atau tips yang tidak pasti. Ia sendiri sering tidak bisa mencukupi kebutuhannya ketika gaji yang didapatkannya selalu habis setelah ia terima untuk membayar hutang-hutangnya.
Selepas Kuncoro meninggalkan ruang kuliah di lantai dua, Santi menyusul Kuncoro menuruni tangga menuju ke tempat parkir. Terlihat Santi sengaja berjalan lebih perlahan dari biasanya agar tidak mendahului Kuncoro. Dengan motor Enfield yang terlihat sangat terawat itu Kuncoro meninggalkan area parkir. Tidak berselang, Santi menyusul keluar dari area parkir dengan sepedanya.
Santi mengayuh sepedanya tidak ke arah timur menuju ke kantor tempatnya bekerja di Jalan Adisutjipto seperti biasanya, melainkan ke arah utara menuju Kaliurang. Karena jalan sangat ramai, Santi memilih jalan di antara perkampungan dan perumahan yang lebih sepi. Ia hafal jadwal Halimah mengambil libur setiap pekannya.
“Apa sebaiknya aku berhenti bekerja di Mandala. Tetapi jika aku berhenti bekerja, dari mana kudapatkan biaya untuk kuliah? Dan kalau aku tetap bekerja seperti sekarang, kuliahku yang akan menjadi korban. Aku bingung, Mah.”
“Kebingunganmu itu jauh dari duniaku, San.”
“Tetapi aku tidak dapat berbicara ini selain kepadamu.”
Halimah melihat ke sepeda Santi yang terparkir di antara beberapa motor yang berjejer.
“Bagaimana jika kuliahmu kamu tunda?”
“Maksudmu aku berhenti kuliah? Tidak. Aku sudah menunggu lama untuk mendapat pendidikanku sekarang Mah, bukankah kamu sendiri tahu bagaimana aku sejak dahulu? Aku bukan hanya akan kehilangan waktu yang sudah kulewati di Sagan untuk mendapatkan biaya kuliah, meski waktu yang kujalani itu seperti racun yang dapat mengancam niatku.”
“Tetapi dari sana juga kamu mendapat uang itu.”
“Itu sebetulnya tidak bisa masuk hitungan. Itu seperti keuntungan yang tidak termasuk di dalam rencanaku. Semestinya aku bisa mengumpulkan uang dari pekerjaanku di sana.”
“Itu pun juga hasil dari pekerjaanmu bukan?”
“Kuanggap bukan. Sebab uang itu tidak lebih wujud dari rasa kasihan Om Rusdi.”
“Bagaimana jika kamu meminta tolong Om Rusdi lagi?”