AMUK

Aziz Abdul Gofar
Chapter #16

Langit Mulai Gelap

Jika tidak karena bekerja di perusahaan penyedia layanan pihak ketiga, Santi tidak akan memilih tinggal di dalam kos sempit di Sapen. Mungkin ia akan satu kos-kosan dengan Halimah di Kaliurang Atas, atau bisa saja ia memilih tinggal di pinggiran kota yang sedikit jauh dari kota dan relatif murah baginya. Sebagaimana Farid yang menyukai ketenangan dan lingkungan yang luas dan asri oleh pepohonan, Santi merasa sedang di Kaliawir jika tinggal di daerah seperti itu. 

Meski pada akhirnya pekerjaan yang menjadi harapan penyambung hidup sekaligus sumber biaya pendidikannya itu ia tinggalkan, ia masih betah tinggal di Sapen. Sekarang, sudah tidak masalah baginya akan tinggal di tempat dan lingkungan seperti apa. Lagi pula, Sapen ini baginya masih jauh lebih baik jika ia terus tinggal di Sagan. Kalau terpaksa tinggal di tempat yang lebih sulit dari Sagan, ia akan menjalaninya asal mendapat penghasilan untuk kembali menyambung hidup dan biaya pendidikannya di Yogyakarta.

Hanya saja, ia sering teringat Kaliawir, terutama orangtuanya yang sudah renta. Meski sesekali bayangan Latu yang dahulu menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap keputusannya sesekali hadir di antara bayang-bayang yang lain. Santi merasa bersalah. Bagaimana anak muda seperti Latu bersedia menjadi bagian dari orang seperti dirinya? Pertanyaan itu yang dahulu menjadi salah satu alasan mengapa Santi akhirnya bergelayut ke pundak Farid.

Ketika Halimah menanyakan perihal Latu yang diketahuinya sejak dahulu, raut wajah Santi seketika meredup seperti langit cerah yang perlahan-lahan mulai gelap tertutup awan. 

“Aku sudah tidak pantas untuk Latu. Sejak dahulu pun, aku rasa aku ini tidak pantas untuk Latu, apalagi dengan keadaanku yang sekarang? Jika dahulu aku merasa tidak pantas sebab kulihat ada yang lebih pantas bersama Latu, sekarang keadaanku sendiri yang membuat jarak pemisah di antara kami semakin tak terjamah. Mungkin saja, memang sebaiknya seperti itu, mungkin saja Latu sekarang sudah bersama Irma. Kurang apa Irma itu? Irma itu anak yang memiliki paras yang juga menarik, anak seorang mantan kepala desa, memiliki usaha sendiri yang lancar dan menghasilkan banyak keuntungan, mendapatkan pendidikan tanpa perlu harus bersusah-payah mencari biayanya sepertiku. Kurang apa Irma itu?” 

Jika melihat anak bekas juragannya itu, Santi terlihat seperti kerang kerdil di hamparan pasir pantai, terkubur, menyembul dan merangkak, terkubur kembali dan akhirnya terbawa ombak laut yang datang dari arah tak terduga. Ombak itu berbentuk nasib bahwa ia anak miskin yang tidak memiliki kemampuan seperti Irma, kesempatan yang terhalang oleh kekurangannya sendiri dalam keuangan, dunia malam yang terpaksa pernah dilaluinya meski dengan terpaksa dan kehidupan kota yang merubah sebagian dari dirinya yang terlihat asing dan tak disukainya sendiri. Semua itu datang bagai tidak ada habisnya, terus bergulung susul menyusul.

Lihat selengkapnya