AMUK

Aziz Abdul Gofar
Chapter #17

Benturan Tajam

“Apakah yang indah di dunia ini? Bagaimana menilai sesuatu adalah keindahan atau bukan keindahan? Apakah setiap keindahan adalah hal yang benar? Apakah yang benar pasti berwujud keindahan? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sudah lama kutinggalkan. Sekarang, aku lebih suka bertanya dan mencari-cari makna pada seseorang, siapapun mereka. Tentu saja aku lebih sering mencarinya dari orang-orang terdekat, seperti ayah.”

Karena tidak ada respon yang kulihat, meski sebatas senyum atau tatapannya yang misterius itu, kulanjutkan kata-kataku tanpa berharap dapat mengambil perhatian dari laki-laki yang sedang duduk tepat di depanku di ruang tamuku.

“Sudah lebih dari setahun aku tidak bertemu ayah secara langsung. Selama setahun itu kami juga jarang berhubungan melalui komunikasi seluler. Sebelumnya, kami cukup sering saling mengirim surat lewat email. Iya surat email, bukan percakapan teks seperti SMS. Kami punya keserupaan di dalam model komunikasi seperti ini. Kami menganggap..”

Tiba-tiba ia berdiri ke meja sudut dan mengambil pemotong kuku kemudian duduk kembali ke tempatnya semula. Wajahnya tetap tanpa ekspresi ketika membersihkan kuku jari tangannya dengan penyungkit yang ada di dalam pemotong kuku.   

“Kami menganggap... atau jika kubandingkan dengan layanan pesan singkat yang cenderung terburu-buru dan tidak mengandung prinsip-prinsip komunikasi yang utuh, surat email bagiku lebih mendalam dan terpapar dengan jelas. Andai saja kami berkirim surat lewat pos, tentu itu akan bernilai historis.”

“Bagaimana jika ayahmu tiba-tiba tidak ada?”

Kuncoro tetap dingin wajahnya, tidak ada perubahan yang dapat kutangkap. Ia seperti sengaja melepaskan pertanyaannya untuk mengujiku sekaligus memberi tekanan. Atau seperti dugaku yang lain, ia sedang melepaskan tekanan dendam terhadap sosok ayah. Bisa juga oleh kekecewaannya terhadap hidupnya sendiri yang belum dapat menjadi atau jika tidak dikatakan gagal sebagai ayah. 

Aku pernah mendengar, atau mungkin membaca dari salah satu buku parenting atau mungkin buku psikologi, jika kita tumbuh tanpa ayah, kita memiliki pikiran bahwa tidak ada pusat dan akhir di semesta ini, dan kita berpikir kita dapat melakukan apapun yang kita ingin. Tetapi pada akhirnya kita menyadari kita tidak tahu apa yang kita inginkan, dan kita mulai mencari semacam makna, fokus di dalam kehidupan; seseorang yang dapat melarang kita.

Dan aku tidak dapat menjawab pertanyaannya itu, karena memang tidak pernah kupikir akan ada pertanyaan semacam itu. Meski sekarang aku hidup jauh dari orangtuaku, selama ini tidak pernah kupikirkan bagaimana jika suatu saat aku harus hidup tanpa mereka. Bukankah pertanyaan semacam pertanyaan Kuncoro itu penting? Dengan demikian aku tidak terjebak di dalam kumparan kekanak-kanakanku sendiri ketika orang-orang di sekitarku tumbuh dengan berbagai bentuk perjuangannya masing-masing.

Lihat selengkapnya