Orang dari Europeanen Indonesia Studies rupanya benar-benar menyibukkan Sojo. Nyaris sepulang dari Sulawesi, Sojo tidak memiliki waktu yang luang yang dapat kami lewati dengan mencari makan malam, menikmati kopi dan menonton pertunjukan di Sositet seperti sebelumnya. Henri Palmer menginginkan proyeknya dengan Perhimpunan Akar Media dapat membuahkan hasil yang monumental, setelah dua proyek yang mereka kerjakan sebelumnya kurang tepat sasaran sehingga tidak bisa memberikan hasil yang memuaskan.
Wadi Salim dan Sutono Maramis menjadi sering pulang pergi Bandung Yogyakarta untuk memberikan supervisi dan terlibat langsung dalam penggarapan film dokumenter yang kami kerjakan. Satu malam selepas kami mengambil adegan di Kotagede, kami mampir ke Kafe Ascenseur. Wadi Salim yang terlihat kelelahan bertutur jika Sutono Maramis berniat mengundurkan diri dari lembaga mereka selepas proyek yang sedang berjalan ini rampung. Saat itu kami tinggal bertiga, kru yang lain memilih pulang cepat agar bisa lekas beristirahat.
“Maaf, kupikir ini bukan wilayahku untuk lebih tahu, bukankah Maramis sudah lama bergabung dengan Akar Media? Apakah ada masalah di dalam? Atau karena tekanan Henri?”
Salim tidak menjawab pertanyaan Sojo yang terdengar menggebu. Aku menduga jika Salim menganggap Sojo khawatir rencana Maramis untuk hengkang dari lembaganya akan berpengaruh pada proyek yang sedang kami kerjakan.
“Henri dan lembaganya itu seperti teater keliling zaman dahulu, zaman penjajahan. Ia dan kelompoknya itu pekerjaannya hanya menari-nari menggoda orang-orang di negeri lain, meski mereka juga membayar untuk mendapatkan itu. Tetapi mereka selalu ingin mendapat lebih banyak dari apa yang seharusnya mereka capai. Aku sendiri sebetulnya juga sudah lelah terlibat dengan pekerjaan-pekerjaan semacam ini; uang pun tak seberapa, kepuasan berkarya pun juga tak kudapatkan. Rupanya, Maramis lebih cepat mengambil langkah yang tepat.”
Pertanyaan mengapa Maramis akan meninggalkan lembaganya rupanya tersambung ke bagian yang lebih sensitif. Aku tidak melihat mata yang dipenuhi amarah atau tekanan dari Wadi Salim, ia menceritakan awal yang mengejutkan itu seperti terjadi secara alami dan apa adanya, bukan karena sebuah tendensi yang disembunyikannya. Sojo yang terlihat terkejut pada mulanya, merubah sikap ingin tahunya itu dengan berpura-pura sabar menunggu Wadi Salim melanjutkan ucapannya.
“Maramis diajak bergabung dengan salah satu CV yang memberikan layanan untuk kelompok, lembaga dan perusahaan-perusahaan yang membutuhkan layanan kampanye digital atau setidaknya semacam itu, salah satu cara yang sekarang banyak digunakan untuk memenangkan hati publik melalui internet.”
“Bukankah mereka biasanya memiliki tim sendiri? Jika seperti itu, Maramis menjadi semacam konsultan atau orang yang bekerja di luar lingkaran? Apa beda dengan sekarang?”
“Sangat berbeda. Ia bisa memilih, jika ingin bebas dan bekerja lebih merdeka, ia tentu akan tetap berada di luar lingkaran. Namun, jika ia membutuhkan kenyamanan dan jaminan yang banyak kami harapkan untuk menuju masa tua, ia akan masuk ke dalam lingkaran. Dan lingkaran ini bukan main-main? Perusahaan tambang besar milik asing di negeri ini. Mereka akan membuka tambang baru di sini, di dekat kita. Namun, mereka menghadapi kendala yang mirip seperti awal-awal sebuah tambang di daerah padat penduduk akan dimulai. Mereka itu sedang berperang memenangkan hati orang-orang agar menerima kehadiran mereka!”
Aku teringat cerita ayah perihal persoalan yang sering ditemui di area pertambangan, maksudku masalah-masalah yang dihadapi perusahaan tambang. Hampir tidak ditemukan ada perusahaan tambang yang tidak menghadapi masalah, terutama di awal mereka memulai satu pertambangan di tempat baru. Bahkan, aku yang bertahun-tahun tinggal dengan para pekerja pertambangan mendengar sendiri bagaimana kami kerap menghadapi masalah yang datang dari berbagai arah. Bisa karena gangguan terhadap pekerja dari kelompok tertentu, bisa juga dari dalam manajemen, atau bahkan masalah-masalah politis yang jauh dari jangkauanku.
Ketika ayah akan berpindah tempat kerjanya di area tambang yang lebih dekat seperti yang disampaikannya melalui email, aku merasa senang. Namun demikian, aku juga merasa sedikit cemas jika area tambang yang sedang dalam masa perintisan itu mengalami masalah seperti yang pernah diceritakannya itu. Wadi Salim nampaknya juga mulai menimbang akan mengikuti langkah rekan kerjanya, meski bisa jadi ia tidak menuju ke lembaga lain, tetapi membuat lembaganya sendiri atau usahanya sendiri.
“Bukankah kalian sudah mendengar di TV atau di media-media lain soal Jogoroto? Maksudku konflik antara perusahaan tambang dan masyarakat yang mulai memanas di sana? Di perusahaan itulah Maramis akan berlabuh.”
“Jogoroto?” aku tak sabar menyela.