AMUK

Aziz Abdul Gofar
Chapter #19

Amuk Buta

Sutono Maramis benar-benar mewujudkan rencananya keluar dari Akar Media untuk bergabung dengan perusahaan tambang. Dalam waktu singkat, ia berhasil masuk ke dalam lingkaran manajemen perusahaan dan menjadi ujung tombak, berhadapan dan memberikan keterangan-keterangan kepada publik, baik itu melalui media atau beberapa lembaga terkait. Dengan kemampuannya dalam komunikasi masa yang diperkaya dengan pengalaman di Akar Media, Maramis dengan mudah menjadi juru kampanye perusahaan yang dapat diandalkan.

Ketika penolakan masyarakat terhadap mereka sampai ke pusat dengan menggandeng beberapa organisasi kemasyarakatan, Maramis bermain dengan lihai.  

“Kami tetap mematuhi aturan-aturan dan menjaga kelestarian alam. Karenanya, kami selalu menghindari perusakan yang membawa kemudharatan. Kami selalu mengedepankan kemanfaatan untuk semua, sebab kami merasa menjadi bagian masyarakat. Kami yang akan mengolah karunia Tuhan berupa mineral di Jogoroto, semua harus merasakan manfaatnya. Buktinya, kami selalu melibatkan masyarakat dalam setiap tahapan. Nanti, kami juga akan menerima tenaga-tenaga kerja dari Jogoroto dan sekitarnya sebagai bagian dari kami.”

Sutopo dan orang-orang yang tergabung dalam aliansi masyarakat menolak tambang di Jogoroto terus melakukan perlawanan. Bersama dengan tokoh-tokoh masyarakat yang bukan hanya berasal dari Jogoroto, Sutopo membendung pergerakan perusahaan tambang dari dua kutub sekaligus, dari atas dan dari bawah.

Namun, di arus bawah, selain berhadapan dengan orang-orang pertambangan, mereka juga harus berhadapan dengan orang-orang seperti Leman dan kelompoknya. Mereka bekerja dengan cara diam-diam dan menghindari bentrokan langsung dengan mereka yang menolak. Hanya saja, mereka sekarang sudah mulai berani menampakkan sikap ke permukaan. Bukan hanya itu, mereka juga mulai berani terang-terangan terlihat bersama dengan orang-orang dari pertambangan yang mulai sering terlihat di Kaliawir.  

Mereka juga sudah berhasil mengambil lahan-lahan dari penduduk yang pada mulanya menolak dan akhirnya secara diam-diam melepas tanah mereka. Bukan hanya karena ganti rugi yang diberikan sangat tinggi, akan tetapi banyak tanah-tanah yang dilepas itu karena memang tidak dapat menumbuhkan apapun, tidak produktif. Seperti tanah milik Mbah Marwan di Bukit Tolok yang berbatu dan penuh dengan rumput liar sejenis ilalang itu. Meskipun tanah-tanah itu masih dibiarkan dan belum disentuh oleh perusahaan, namun kepemilikan tanah-tanah itu sudah berada di tangan perusahaan pertambangan emas.

Merek melepas tanah-tanah itu bukan hanya karena tanahnya yang tidak menghasilkan apa-apa, namun juga karena berbagai alasan. Ada yang melepasnya karena ingin memulai awal hidup baru di tempat lain, di kota-kota misalnya. Ada karena kebutuhan melepaskan diri dari jerat tumpukan hutang seperti yang dilakukan Haryadi dahulu. Ada juga karena iming-iming akan dijadikan pekerja di perusahaan, ada juga karena semata-mata tergiur banyaknya uang yang mereka dapatkan dari ganti rugi tanah yang sebagian besar berupa tanah warisan dari orang tua atau dari leluhur mereka sebelumnya, tanah yang selama ini tidak banyak memberi penghidupan bagi pemiliknya karena kondisinya yang kurang subur.

Akan tetapi, semua sebab dan alasan mereka melepas tanah-tanah itu juga tidak bisa lepas dari peran Leman dan kelompoknya. Mereka mendatangi orang-orang pemilik tanah-tanah yang sebelumnya masih enggan atau tidak berani melepas tanahnya. Dengan berbagai cara, termasuk mengintimidasi, Leman dan kelompoknya berhasil membuat mereka melepas tanah miliknya. Sebelumnya, mereka memang seperti tidak ingin berlawanan dengan orang-orang yang menolak adanya tambang seperti Sutopo dan orang Kaliawir pada umumnya. Mereka lebih memilih apa yang dikehendaki oleh sebagian besar masyarakat yang tidak ingin melepaskan tanah-tanah mereka.


Lihat selengkapnya