Sebuah pesan singkat masuk ke seluler Santi, satu pesan singkat mengabarkan duka dari kampung halaman, emaknya meninggal dunia. Santi baru sepekan bekerja di Kotagede, di rumah Bu Kunto. Selama ini, tidak ada kabar dari Kaliawir perihal sakit yang diderita oleh emaknya. Santi mengetahui betul bagaimana emaknya memiliki watak sangat penyabar, tidak ingin merepotkan orang di sekitarnya dan cenderung tertutup. Maka, saat sakit yang dialami emaknya tidak ada yang mengetahui dan mengabarkan kepadanya, Santi menyadari jika itu karena kehendak emaknya sendiri.
Bu Kunto segera menyuruh Santi mengemasi beberapa pakaian dan memberikan uang gaji satu bulan yang seharusnya diberikannya setelah Santi genap sebulan bekerja, ditambah dengan uang sejumlah satu bulan gaji Santi. Mata Bu Kunto yang mulai berkeriput berkaca-kaca bak induk burung kehilangan anaknya. Perempuan itu mengetahui dari Rusdi, adiknya, sejarah perjalanan Santi yang tidak mudah semenjak ia menginjakkan kaki di Yogyakarta.
Santi menghubungi Farid dan Halimah, mengatakan akan pulang ke Kaliawir untuk sementara waktu. Farid yang masih berada di Bantul, langsung menemui Santi di Kotagede. Dari ucapannya, Farid seperti takut kehilangan Santi. Padahal Santi sudah mengatakan hanya sementara waktu, meski tidak tahu kapan akan kembali lagi ke Yogyakarta.
“Aku hanya sementara waktu di Kaliawir. Aku akan kembali nanti, percayalah. Selain karena aku memang sudah lama tidak pulang, aku butuh waktu untuk menata kembali batinku dan mengurus keluargaku di sana. Pasti banyak urusan yang harus kuselesaikan di sana.”
“Aku khawatir bukan hanya karena itu, tetapi karena keadaan di sana.”
“Kamu terlalu banyak menelan semua berita. Tidak semua orang di sana jadi aktivis.”
Farid mengantarkan Santi ke Terminal Giwangan, memarkir motor di depan masjid dan ikut mengantar Santi ke dalam terminal. Farid mematung sesaat setelah Santi naik ke bus jurusan Surabaya yang mulai bergerak keluar terminal kemudian melaju di Ringroad Selatan.
Santi turun di Kertosono, dari sana ia akan berganti bus menuju ke Jogoroto. Tetapi ia merasa sangat lapar, semalam perutnya tak terisi makanan apapun, bahkan pagi hari sebelum berangkat ke Giwangan, ia juga tidak sempat sarapan. Di dekat pertigaan, sekira dua puluhan meter dari tempatnya berdiri menengok kanan kiri mencari warung atau rumah makan, satu Rumah Makan Padang membuatnya menelan ludah. Santi bergegas.
Di depan Rumah Makan Padang itu berjajar kendaraan. Sebuah SUV hitam yang baru keluar dari tempat parkir, hampir menabraknya. Tetapi Santi tidak menghiraukan karena ia sudah sangat kelaparan. Namun, sebelum ia sampai di pintu masuk rumah makan itu, suara yang sudah akrab di telinganya memanggil dari arah belakang.
Rusdi Balak keluar dari SUV bersama seorang laki-laki, Henriette Palmir.
“Santi. Santi!!”
Merasa namanya dipanggil, Santi menoleh. Dilihatnya Om Rusdi berdiri di samping SUV hitam yang baru saja hampir menabraknya. Rusdi Balak setengah berlari menghampiri Santi yang tetap berdiri di tempatnya. Sedangkan Henri kembali masuk ke dalam mobil dan mengembalikannya ke posisi parkir semula.
“Om Rusdi mau ke mana? Mengapa ada di sini?”
“Aku mau ke Jogoroto. Aku sedang ada pekerjaan dengan seorang kawan. Kamu mau pulang to? Aku sudah mendengar kabar Emakmu dari Mbak Kunto.”
“Iya Om, maka dari itu aku langsung pulang naik bus. Om Rusdi mau apa ke sana?”
“Kerja San. Kami mau mengambil dokumenter di sana. Apapun sekarang aku mau mengerjakannya San. Lagi pula ini ajakan dari kawan lamaku.”
“Tetapi di sana sedang tidak aman untuk orang pendatang Om. Apa yang akan Om Rusdi kerjakan di sana itu dapat membahayakan keselamatan,” kata Santi sambil menoleh ke arah Henri yang datang menghampiri mereka. Henri nampak tergesa, tetapi juga ingin tahu.
“Ini kawanku, San. Om Henri. Kamu belum makan? Ayo masuk dulu. Setelah selesai makan nanti ke Jogoroto bersama kita,” Rusdi melihat sekilas ke arah Henri.
“Bukankah Om Rusdi tergesa-gesa? Kan Om Rusdi sedang dalam pekerjaan. Santi tidak perlu ditemani Om. Nanti Santi ke Jogoroto bisa naik kendaraan umum.”
“Bagaimana kalau aku bungkuskan nasinya dan kamu bisa makan di dalam mobil?”
Santi terdiam sesaat sebelum Henri juga memintanya untuk ikut dengan mereka. Setelah memesan satu bungkus nasi padang dan sebungkus es jeruk, karena mereka berdua sudah terlebih dahulu makan, SUV hitam Henri meninggalkan Kertosono menuju Jogoroto.
***
Apa yang dikatakan oleh Santi, seperti juga yang sudah tersiar di media-media masa, Kaliawir sedang bergejolak. Rusdi dan Henri yang mengantar Santi sampai di perbatasan Kaliawir, terpaksa berputar balik karena dihadang oleh orang-orang yang menutup akses jalan. Mereka berdua sempat bersitegang dengan dua orang pemuda yang juga sudah naik darah melihat orang yang tidak dikenalinya mencoba menerobos penjagaan mereka.
Henri yang menyampaikan bahwa mereka dari media yang ingin meliput tidak dapat menunjukkan tanda pengenal dan identitasnya sebagai jurnalis, apalagi Rusdi Balak. Terang saja Henri tidak memiliki keduanya, karena ia memang bukan jurnalis. Dokumenter yang akan mereka kerjakan itu pun juga akan dilakukan orang lain seperti Sojo dan Salim.
Santi turun dari kendaraan setelah berpamitan kepada Rusdi Balak dan Henri Palmir yang terlihat kecewa, sebab mereka berniat untuk mengantarkan Santi sampai rumah sekalian melihat situasi di sekitar Bukit Tolok untuk keperluan pengambilan dokumenter yang akan mereka kerjakan nantinya. Santi meminta keduanya agar cepat kembali ke Yogyakarta karena kondisi di kampung halamannya memang jauh dari perkiraannya.
Ketika melihat seorang gadis yang mereka kenal, yang tidak lain warga Kaliawir yang sudah lama tidak pulang, seorang pemuda datang menghampiri dan menawarkan diri untuk mengantarnya menggunakan motor bebek miliknya. Namun pemuda itu tidak jadi mengantar Santi saat melihat Latu datang bersama Darman dari arah belakang Santi. Anak-anak muda di Kaliawir sudah mengetahui jika Santi dahulu berpacaran dengan Latu, mereka mengira Santi dan Latu masih menjalin hubungan meski berpisah jarak dan tidak pernah bertemu.