Ketika ia berkata 'aku ingin kau bahagia, jadi aku akan melepaskanmu', tapi nyatanya bahagiaku adalah kamu.
•••
Bunyi detak jarum jam begitu terdengar nyaring di telinga seorang cewek. Dia tengah duduk, menunggu seseorang di sebuah rumah yang cukup berada dan juga nyaman.
Kaki yang tak henti-hentinya dia gerakkan gelisah, kini berhenti karena mendengar suara klakson kendaraan roda dua dari luar rumah.
Siapa lagi kalau bukan seseorang yang sedang dia tunggu --Haje Maharu.
Hhh lama sekali sih! Batinnya.
Dengan segera dia beranjak dari duduknya dan meraih sebuah ransel berwarna cokelat tua. Tidak lupa sebuah tas jinjing kecil yang berisi kotak makan siang untuk dua orang di sampingnya.
Cewek dengan seragam sekolah, rok abu-abu selutut dan juga rambut yang dibiarkan terikat satu, menambah kesan bahwa dia adalah seorang gadis yang jauh dari kata feminim.
Ana membuka pintu dan mendapati sosok yang dia tunggu hingga membuatnya gelisah.
"Kamu lama banget sih! Aku ada pedalaman materi pagi ini tau!" protes Ana pada cowok di depannya --Haje.
Haje pun menyunggingkan senyumnya. "Maafin aku ya, tadi macet banget. Ya udah ayo naik."
Alasan terus! Batin Ana.
"Iya," jawab Ana singkat sambil mengerucutkan bibirnya.
Kenapa gemesin banget sih An.
Baru saja Ana ingin naik ke atas motor, Haje menghentikannya dengan berkata, "tunggu sebentar."
"Kenapa lagi, Je?" Ana mulai naik kesal, pasalnya jam sudah menunjukkan pukul enam pagi.
Tiga puluh menit lagi jam pedalaman materi akan dimulai. Sedang, perjalanan dari rumahnya ke sekolah kurang lebih dua puluh menitan kalau tidak macet.
Haje melepaskan jaket denimnya dan berkata, "pakai ini. Aku nggak mau paha kamu diliatin banyak orang."
Oke, Ana sedikit tersentuh. Padahal sudah sering Haje memperlakukannya seperti ini. Tapi, tetap saja membuatnya seperti ada kupu-kupu yang beterbangan di perutnya.
"Sini aku pakein," lanjut Haje.
Ana sedikit ditarik ke arahnya, sehingga Haje bisa memakaikan jaket di pinggang cewek itu. Tidak lupa dengan helm berlogo bogo warna cokelat muda. "Udah selesai, ayo berangkat."
"Makasih, Je," ucap Ana pelan sambil tersenyum simpul.
Ana pun naik ke atas motor. "Jangan ngebut ya Je, tapi cepetan biar nggak telat."
"Lah bukannya sama aja, An? Kamu gimana sih? Tenang aja udah, pegangan biar nggak jatoh," jawab Haje sambil terkekeh.
Haje pun mulai melajukan motor gedenya yang warna putih itu --hadiah ulang tahun ke-tujuh belasnya, ke jalanan ibu kota yang mulai macet.
Hingga di lampu merah. "An, ayah dan mama kamu jadi pergi ke rumah nenek? Ada yang perlu aku bicarain sama mereka."
"Hah? Kanapa emangnya?" tanya Ana bingung.
"Aku mau ngomong sama mereka, minta izin buat jadiin kamu satu-satunya di hati aku," goda Haje, hingga membuat Ana rasanya ingin muntah. Dasar buchen!
Lampu merahnya lumayan lama. "Kamu apaan sih, Je. Nggak usah ngegombal, masih pagi," sahut Ana sambil menatap lampu lalu lintas yang akan berubah warna.
"Itu udah mau hijau," lanjutnya lagi.
Haje tersenyum. "Siap Ayana, pegangan ya jangan lupa."
Namun, bukan Ana namanya kalau tidak patuh pada ucapan Haje. Cewek itu malah memegang ujung kemeja seragam dan membuat Haje terkekeh dari balik helm full face-nya.
Ternyata hanya butuh dua puluh menit Haje melajukan motornya menuju sekolah Ana —SMKN Pariwisata.
Ya, Ayana Anindhyta bersekolah di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri Pariwisata jurusan Perhotelan. Sedangkan, Haje Maharu bersekolah di SMAN jurusan IPA.
Ana turun dari motor dan mencoba untuk membuka cetekan helmnya. "Udah sampe An, nggak telat 'kan?" ucap Haje sambil membantu kekasihnya itu.
"Iya Je, makasih ya." Ana tersenyum dan segera membuka tas jinjing yang ia bawa tadi.
"Ini, aku buatin nasi goreng buat kamu. Jangan lupa dimakan ya," lanjutnya lagi sambil menyodorkan tempat makan warna cokelat.
Haje menerimanya dengan senang hati. Menurutnya, nasi goreng buatan Ana sangat pas dilidah. Kebetulan dia tak suka pedas. "Makasih Ayanaku sayang," jawabnya.
Ana mengangguk. "Ini jaketnya, Je," ucapnya.
"Oh iya, sini nanti aku nggak ganteng tanpa jaket ini," sahut Haje sambil menyengir lebar.
Hal itu membuat Ana cemberut. "Tau deh yang ganteng."
"Tenang... Haje yang ganteng ini cuma sayang Ana doang kok, seriusan deh."
"Iya in Je, ya udah aku masuk dulu. Kamu hati-hati di jalan, kalau udah sampe jangan lupa kabarin," ucap Ana.
Haje mengangguk. "Sana masuk, nanti gerbangnya keburu ditutup loh."
Ana pun akhirnya melangkahkan tungkainya menuju gerbang sekolah. Baru beberapa langkah, dia menoleh dan mendapati Haje yang sedang tersenyum ke arahnya.
"Semangat Ayana!" ucap Haje tanpa suara, tapi Ana dapat mengerti.
Tepat di kelas Akomodasi Perhotelan 2, Ana sudah disambut oleh sahabat-sahabatnya. Deva, Renata dan Sania.