“Kalian Masih mengingat kisah yang dulu pernah Abi ceritakan? Tentang sebuah keluarga yang namanya diabadikan didalam Al-Qur’an?”
Tanpa ada keraguan sedikitpun ketiga anaknya mengangguk pasti. Sang Abi hanya dapat tersenyum melihat anak-anaknya tetap bersemangat dalam mendengarkan setiap kisahnya yang sering ia ceritakan. Entah itu kisah para nabi, para sahabat, cendekiawan islam, atau bahkan ulama-ulama. Mau itu Ghibran, Lateef, ataupun Aqilla, mereka telah hafal benar dengan setiap kisah yang diceritakan Abinya, mendalam pula. Karena sejak belia, dengan kisah-kisah itulah mereka dibesarkan. Tapi syukurlah, mereka tidak pernah bosan mengulang kembali kisah-kisah itu, bahkan sering meminta sendiri untuk diceritakan.
“Coba Abi mau tanya, Ghibran, keluarga siapa yang Abi maksud?”
“Keluarga Imran, bi. Ghibran hafal betul kisah ini, kisah inspiratif yang tidak bisa dilupakan. Malahan Allah SWT sendiri yang menjadikannya nama salah satu surah dari Al-Qur’an, surah ke-tiga, Ali-Imran. Contoh yang pantas dalam membangun sebuah keluarga yang berdasar pada Syariat-Nya.” Jawab Ghibran dengan bangganya.
Abi mengangguk-anggukkan kepalanya, alisnya sedikit mengkerut mendengarkan jawaban dari anak pertamanya itu. “Bagus, pasti kalian telah hafal betul kisah ini. Sudah berapa kali Abi menceritakannya? Eum… sepuluh kali?”
“Abi menceritakan kisah tentang keluarga Imran itu sewaktu Lateef berumur 3tahun. Dan lihatlah sekarang, umur Lateef bertambah. 19 tahun. Jadi, sekitar… Berapa ya? Ah, intinya walau sudah 16 tahun lamanya Lateef mendengarkan kisah ini, tetap saja keluarga Imran yang terbaik!” Ucap Lateef dengan gayanya, sedikit heboh daripada kakaknya Ghibran yang tenang dalam menjawab.
“Iya, bi. Keluarga Imran!” Jawab si bungsu tidak ingin kalah dari kedua kakak lelakinya. “Kita seperti keluarga Imran kan, Abi? Umi dan Abi mendidik kita selayaknya Imran dan Hanna, penuh keta’atan dan ketaqwaan. Aqilla senang lahir dikelurga ini! Tidak seperti teman Aqilla yang malang. Orangtuanya tidak perhatian, selalu memarahinya, bahkan teman Aqilla pernah dipukul Orangtuanya. Mereka jahat ya? Orangtua yang buruk!”
Bukannya menegur karena putri kecilnya itu telah melupakan satu aturan---dilarang mengumpat juga membicarakan orang lain, Abi hanya tersenyum dan menatap kedua putranya yang lain. Ingin melihat bagaimana reaksi mereka, Abipun mempersilahkan mereka berdua untuk membenarkan pemikiran adiknya.
“Bukannya Orangtua yang buruk, Aqilla. Mereka hanya tidak mengerti. Setiap orangtua itu baik, menginginkan kebaikan kepada setiap anaknya. Kalau Aqilla melihat atau mendengar tentang Orangtua yang memukul atau bahkan memarahi anaknya, lihat dulu apa alasan dia melakukan itu? Bisa jadi anaknya yang salah, kita tidak patut melihat masalah dari satu sudut pandang. Toh dalam Islam Orangtua boleh memukul, bahkan sampai memecut anaknya.” Jawab Ghibran dengan tenangnya.
“Itu diperbolehkan dengan syarat, jika sang anak menyeleweng dari Syariat Islam. Contohnya berzina, pacaran, tidak shalat, mabuk-mabukan. Itu kan hal-hal yang dilarang. Apa orang tua akan diam melihat anaknya sendiri melakukan hal yang salah? Tentunya mereka tidak akan membiarkan anaknya masuk neraka bukan? Harus ada tindakan, Qisas yang pantas bagi setiap kesalahan. Bukan asal hukum sembarangan, harus sesuai dengan syariat Islam.” Lanjutnya.
“Dan, seperti yang kak Ghibran bilang, untuk Orangtua yang asal memukul dan memarahi anaknya tanpa sebab, mungkin saja mereka tidak mengerti dengan mendalam tentang Islam. Tidak seperti Abi atau Umi yang Insyaa Allah sudah mengerti, karena itulah mereka bisa dalam mendidik kita dengan benar, bahkan dengan ketaatan. Contohnya seperti ini, ambillah Umar bin Khatab.” Sambung Lateef yang langsung membenarkan posisi duduknya. Yang awalnya mereka semua melingkar diatas ranjang Aqilla, kini Lateef sedikit bergeser dan sedikit membuka celah. Bersiap untuk bercerita.
“Bandingkan beliau sewaktu masih Jahiliyah, dengan beliau yang telah mengenal Islam, telah masuk Islam. Before, beliau dikenal sebagai sosok yang menakutkan, karena dengan wataknya yang keras juga tegas. Bayangkan saja seperti pak Rawi, satpam komplek kita. Dia galak, bukan?” Mulainya dengan sedikit berbisik dibagian akhir kalimat.
“Lateef…” Tegur Ghibran tidak setuju saat Lateef malah membicarakan hal lain, apalagi itu termasuk membicarakan kejelekan bahkan mengejek satpam komplek mereka.
“Iya, Kak, Maaf” Ucap Lateef sedikit cengengesan. “Nah, bahkan sayyidina Umar pernah membunuh anak perempuannya yang baru lahir karena mengikuti tradisi nenek moyangnya. Beliau sangat membenci nabi Muhammad saw, sampai-sampai beliau berniat membunuh nabi dan menghentikan penyebaran Islam. Tapi ternyata Allah SWT memiliki rencana lain. Allah SWT mengabulkan do’a nabi yang meminta salah satu dari dua umar yang bisa menjadi kekuatan untuk Islam.” Berhenti sejenak, pandangan Lateef memutar. Sangat pandai dia dalam bercerita, intonasi suaranya selalu mengendalikan, sampai-sampai pendengar tidak ingin mengalihkan perhatian mereka dari Lateef. Walaupun mereka sudah tahu apa kelanjutan dari ucapannya, seperti saat ini.