Namanya Muhammad Ghibran Al-Farisi, nama itu bukan sekadar nama bagi Ghibran.tapi sebuah do’a dari kedua Orangtuanya. Seorang anak yang pandai dan cerdik selayaknya sahabat Rasulullah Salman Al-Farisi. Itulah makna dari nama Ghibran, dan dia bangga dengan itu.
Apa kalian mengenal sesosok sahabat nabi saw yang satu ini? Salman Al-Farisi. Itulah namanya. Dia lahir dipersia, keturunan langsung orang sana. Dia dikenal dengan strategi perangnya yang luar biasa jitu, sebelum mengenal Islam salman pernah mengusulkan membuat parit kepada kaumnya sendiri sewaktu perang khandak. Dan strategi itulah yang mengantarkan orang Persia pada kemenangannya.
Dia pintar, dapat membedakan mana yang salah juga benar. Dan itulah yang membuat salman muda ingin mencari agama yang memang benar-benar agama. Dia mencoba masuk kedalam agam yang satu, tapi dia tidak puas antara pengapliksian dengan perkataan orang-orangnya. Dia berkeliling mencari agamanya, dan sampailah dia pada Islam.
Setelah mengenal Islam, dia nyaman dengan segala ketentuannya. Diantara perkataan juga perbuatan, semuanya berbanding lurus. Apa yang nabi contohkan, dan apa yang para sahabat tiru. Sopan santun, kesetaraan, hak-hak dengan batasan, keadilan, penjaminan, semua itu Salman temukan dalam Islam. Apalagi yang bisa membuatnya jatuh cinta pada Islam?
Kecintaan Salman terhadap Islam sangat kuat, eksistensi Allah SWT dalam hatinya sangat melekat, bahkan walau sang Ibu menolaknya. Ibu Salman menolak jika Salman meninggalkan agama yang dahulu mereka anut. Ibunya bilang, jika dia tetap menganut agama yang baru itu (Islam) maka dia akan mogok makan. Walau Ibunya sendiri yang menolak, walau Ibunya sendiri yang mengatakan itu, Syurganya Salman, sosok yang telah melahirkan dan membesarkannya. Tapi Salman tidak gentar sedikitpun. Keyakinannya itu yang membuat Salman bertahan.
Sampai nama Salman tertulis dalam sejarah dengan jasanya yang mengenalkan umat Islam dengan strategi perang Persia. Dan itulah salah satu penyebab umat Islam menang, selain kehendak Allah SWT dalam memenangkan Umatnya.
Itulah Salman Al-Farisi. Panutan bagi Ghibran, sosok yang luar biasa dimata Ghibran. Dan beliaulah yang membuat Ghibran sangat gigih dalam belajar, dia selalu senang mempelajari hal baru dan memperdalam ilmu lama. Karena satu keyakinannya, belajar sebanyak dan seluas-luasnya. Serap ilmu dunia, dan berikan itu pada Islam. Seperti Salman Al-Farisi yang mempelajari strategi Persia dan mengajarkannya pada umat Islam. Ghibran bisa berbuat seperti itu, mefermentasikan Ilmu dunia dengan Ilmu Akhirat, dan menjadikannya konsumsi yang pantas bagi umat Islam.
Itu cita-cita Ghibran. Cita-cita yang sangat sederhana baginya, tapi sangat penting untuk perwujudannya.
“Seorang pemuda, bibit-bibit generasi pelanjut, tunas bangsa. Jika kita membahas pemuda, apa yang terbesit dipikiran kita semua? Seorang Remaja tanggung yang sedang mencari jati diri mereka? Ya, itu mungkin salah satunya. Masa-masa dimana manusia mencatat perjalanannya, mewarnai kanvas putihnya, membuat cerita untuk masa tua. Begitu bukan? Tapi cerita apa yang mereka buat? Catatan apa yang mereka tulis untuk ditinggalkan kepada generasi pelanjutnya? Apa kisah Asmara mereka? Apa perbuatan bar-bar mereka sewaktu muda?” ucap Ghibran sebagai pembukaan.
Saat ini Ghibran diundang untuk menjadi pembicara dalam acara pensi sekolah lamanya. Sekolah yang sama dengan Lateef adiknya. Toh Lateef sendiri yang mengundang Ghibran, tanpa surat undangan pula. Katanya ribet, mengundang kakak sendiri kok pakai surat? Bicara saja langsung, lebih jelas dan mudah. Begitulah Lateef, sikapnya belum berubah walau sekarang umurnya sudah 19 tahun, masih bocah kecil kelas 12 SMA. Apalagi sekarang dia yang menjabat sebagai ketua Osis.
“Membahas pemuda, maka kita akan melihat sosok sultan Muhammad II Al-Fatih. Sultan Salahaddin Al-Ayyub, Salman Al-Farisi, Khalid bin Walid, Ali bin abi thalib, dan masih banyak yang lainnya. Kisah apa yang mereka tinggalkan untuk kita para penerus? Sebuah perjuangan, keberanian, kejujuran, juga ketaqwaan terhadap Allah SWT. Mereka mengajarkan kita arti sebenarnya dari pemuda. Menjadi pemuda itu, menjadi kekuatan diantara dua kelemahan. Yang awalnya kita masih bayi (kelemahan), lalu menjadi seorang pemuda (kekuatan), lalu menjadi tua (kelemahan). Dan, bagimana cara kita menggunakan kekuatan itu?”
Hening sejenak. Para pendengar sangat fokus mendengarkan, pandangan mereka tidak lepas dari Ghibran. Memperhatikan dan menunggu kelanjutan apa yang diperbicarakan. Sementara Lateef, dibarisan paling belakang dia tersenyum bangga. Tidak salah dia mengundang kakaknya itu. Selain pintar, pemikirannya sangat menarik, luas dan logis. Dia tahu benar bagaimana memfermentasikan Ilmu luar dengan Ilmu agama, menyadarkan semua orang dengan sesuatu yang sempat mereka lupakan.
“Muhammad II Al-Fatih, dengan kegigihannya dimasa kecil dia belajar dengan giat. Sejak belia, ayahnya mempersiapkan dia menjadi seorang Ghazi, pejuang. Bisyarahpun sering dibahas, meyakinkan Muhammad II bahwa dialah ahli bisyarah yang dikatakan oleh nabi saw. Janji bahwa konstantinopel akan bebas, dan pemimpin yang membebaskannya adalah sebaik-baik pemimpin. Dengan tekad, keyakinan, juga kedekatannya dengan Allah SWT, Muhammad II pun bisa mewujudkan janji itu.”
“Usianya baru 21 tahun saat konstantinopel bebas. Setelah berabad-abad pertahanannya tidak bisa ditembus, dengan tekadnya dalam mewujudkan janji itu, Muhammad II dan pasukannya bisa mewujudkan apa yang mustahil diwujudkan. Bukan perjalanan yang mulus dalam menjemput janji itu, berkali-kali dia gagal, tapi tidak ada satu kegagalanpun yang membuatnya mundur. Dia bangkit dan memulai lagi dengan strategi yang lain. Itulah keberanian, berani dalam mengambil resiko, dan menyelesaikan apa yang telah dimulai, tidak pernah mundur walau sekecil apapun harapan itu. Salah satu karakter pemuda Islam yang wajib kita miliki.” Lanjut Ghibran dengan nada yang tenang, ekspresinya santai, pembawaannya juga menyenangkan. Membuat semua orang tidak bosan mendengarkannya.
“Apa yang membuat kalian berbeda dengan sultan Muhammad II Al-Fatih? Tingkat keberanian. Jika sultan bisa dengan berani mengambil resiko---resiko yang telah dipikirkan matang-matang, maka kalian akan menjadi ragu saat menyadari persentase kegagalan lebih besar daripada keberhasilan. Keraguan itulah yang menghambat jalan gerak kalian, yang memperlambat tindakan kalian. Bukan karena kegagalan kalian tidak bisa mencapai apa yang kalian inginkan, tapi keraguan kalian sendiri yang membuat kalian kalah. Berusahalah melebur itu, cobalah sebanyak kalian mampu, dan majulah dengan percaya diri. Jika sekali kalian gagal, untuk apa bersedih? Itu bukan ujungnya. Jika kalian gagal, maka Allah SWT menginginkan kalian melakukan cara lain untuk mencapai apa yang kalian inginkan. Ada pepatah yang bilang, kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Dan itu benar.”
“Kasus yang sama untuk yang lainnya. Selain berani, Muhammad II Al-Fatihpun ta’at. Kedekatannya dengan Allah SWT yang membuatnya berhasil. Dia tidak pernah meninggalkan shalat Sunnah, apalagi shalat wajib. Puasa juga bersedekah. Contoh yang baik untuk setiap pemuda, bukan hanya bersibuk diri dengan ponsel mereka.” Ucap Ghibran yang membuat sebagian peserta acara menundukkan kepala, merasa tersindir dan malu oleh perkataannya.