Ada satu anggota lagi, namanya Azka Aqilla Qirani Wajdi. Anak yang pandai dan cemerlang, selalu bersemangat dalam melakukan sesuatu. Anak bungsu, perempuan pula. Biasanya anak terakhir itu anak yang paling dimanjakan, apalagi satu-satunya perempuan.
Aqilla memang dimanjakan, bukan dengan harta sampai dia sering berfoya-foya. Tapi dengan iman, juga kasih sayang. Baik Ghibran ataupun Lateef, mereka berdua sangat menyayangi adik kecil mereka. Ghibran seringkali pergi kekamar Aqilla untuk menceritakannya berbagai kisah inspiratif, atau bahkan mengajarinya langsung cara mengaji dengan baik dan benar, itu bentuk kasih sayang dari Ghibran, pembinaan.
Sementara Lateef, dia lebih sering membuat Aqilla kesal dan menangis. Walau tidak jarang membuatnya tertawa. Hei, siapa yang menyangka jika Lateef ini lebih perhatian pada Aqilla. Dia sering menjemput Aqilla tanpa diminta, melindungi Aqilla jika ada yang mengerjainya, Lateef jugalah yang lebih posesiv terhadap Aqilla.
Aqilla senang mendapatkan keluarga yang menyayanginya sepenuh hati. Aqilla senang, serasa menjadi Fatimah yang diteladaninya. Selayaknya Fatimah yang menjadi putri kesayangan Rasulullah saw, dia juga wanita yang diperlakukan seperti ratu oleh suaminya.
Fatimah cerdas, bijaksana, dan sosok yang sangat pemalu. Dia yang selalu menjaga kehormatannya, yang selalu hidup dengan penuh keimanan. Fatimah Azzahra.
Satu kisah yang membuat Aqilla menyukai sosok Fatimah Azzahra. Tentang keberaniannya. Suatu hari saat Fatimah sedang berjalan-jalan, ada seorang sahabat yang mengatakan jika Ayahandanya sedang dipojokkan kaum Qurais. Tanpa tunggu lama atau berpikir untuk yang kedua kalinya, Fatimah berlari dan menghampiri sang Ayahanda. Waktu itu Fatimah masih kecil, saat dia dengan beraninya membela Rasulullah saw. Saat tidak ada satupun yang berani, Fatimah kecil melakukan itu.
Atau bahkan tentang kepiluan seorang anak yang melihat Ayahnya dihina. Sakit hati Fatimah saat sang Ayah ditumpahi kotoran unta dikepalanya. Sewaktu itu Rasulullah sedang sujud, sampai Abu jahal menumpahkan beliau kotoran unta.
Sembari menangis, Fatimah membersihkan sendiri kotoran itu. Dia tidak terima Ayahnya diperlakukan seperti itu. Tapi apa yang bisa dikata saat sang Ayah pun hanya mengucapkan kata sabar. Perih, hatinya panas. Tapi untuk kata Sabar dia diam. Biarlah Allah SWT yang membalas setiap kesakitan Ayahnya. Hanya itu.
Itulah yang dikagumi Aqilla dari sosok Fatimah. Keberanian, akhlak, rasa malu, dan kesuciannya. Bukan rahasia lagi tentang kisah Ali dan Fatimah. Kisah cinta yang menggambarkan bagaimana seharusnya rasa itu berlabuh. Dengan memendamnya dan melepaskan panah-panah do’a juga harapan kelangit sana, disanalah letak kesucian cinta mereka. Tidak egois dengan kata suka, memasrahkan semuanya kepada yang maha kuasa. Karena mereka yakin, selayaknya nabi Adam a.s dengan siti Hawa yang dipertemukan setelah lama dan jauhnya dipisahkan. Maka Ali dan Fatimah berkeyakinan seperti itu. Dan kalian tahu bagaimana akhir kisah mereka.
Hari ini hujan turun, walau sebentar. Teman-teman Aqilla sudah pulang dari beberapa menit yang lalu, ada yang dijemput atau bahkan pulang sendirian. Dan sekarang, tinggallah Aqilla sendirian. Menunggu.
Lateef selalu bilang dengan nada dan gaya over-posesivnya “Tunggu kakak ya, Aqilla? Jangan pulang sendirian. Kakak akan menjemputmu, akan kakak pastikan jalanan aman untuk dilewati adik kecil kakak ini!” berlebihan memang.
Abi atau Ghibran pernah membujuk Lateef untuk membiarkan Aqilla pulang sendirian, untuk melatih keberaniannya. Tapi Lateef menolak itu mentah-mentah. Katanya nanti saja saat umurnya 15 atau 16 tahun, saat ini Aqilla terlalu kecil untuk dibiarkannya sendirian dijalanan.
Tapi berbeda kali ini. Karena bosan menunggu Lateef yang belum juga tiba dengan sepedah hitamnya, Aqilla memilih pulang sendirian. Toh rumahnya tidak terlalu jauh, hanya melewati dua gang dan dua blok. Dekat bukan? Hanya kecemasan Lateef yang membuatnya tampak jauh.
Tapi bukan kecemasan tanpa alasan dari Lateef. Sedekat apapun itu, jalanan sekarang tidak seaman dulu. Zaman antara masa yang aman dengan sekarang yang sedang maraknya prnculikan, pembegalan, pencurian, pencabulan, bahkan banyak anak-anak nakal yang sering mangkal didepan gang. Usia mereka masih muda, ada yang lebih muda dari Lateef, seumuran, atau bahkan lebih tua darinya. Hobi mereka bersenang-senang, merokok bahkan mabuk-mabukan. Itulah sebabnya Lateef khawatir jika Aqilla pulang sendirian. Beda halnya dengan Lateef atau Ghibran yang bisa dengan mudah melewati mereka.
Bukan itu yang dipikirkan Aqilla sampai dia sebegitu beraninya melewati kerumunan para remaja yang sedang nongkrong didepan gang. Tahu remaja zaman sekarang, kan? Anak-anak yang hobinya nongkrong itu emang gak punya mata, dari mulai gadis remaja, anak kecil, sampai bahkan nenek-nenekpun mereka godain. Tidak ada batasan umur, yang penting perempuan pasti mereka cegat. Termasuk Aqilla.
Dengan rasa takut yang mulai menjalari tubuhnya, Aqilla berusaha mundur dan menghindari salah satu dari anak berandalan itu. Jika dilihat-lihat, usianya lebih muda dari Lateef. Sekitar SMP.
“Mau kemana adik kecil?” Tanyanya yang tanpa segan-segan memegang tangan Aqilla. Menariknya dengan kasar agar lebih mendekat.
“Kakak! Ada anak bandel, kak! Kak Ghibran, Kak Lateef, tolong!” Lirih Aqilla gemetaran.
Aqilla ketakutan. Bagaimana tidak? Banyak di berbagai chanel tv atau bahkan jejaring media sosial lainnya, mengabarkan berita tentang penculikan anak. Biasanya anak kecil umur 5 tahun sampai 10 tahun sama seperti Aqilla ini. Jika tidak dijual keluar negeri, pasti organ tubuh mereka yang diperjual belikan. Mengerikan. Oleh karena itu Aqilla berteriak ketakutan.
“Masih SD, ya? Gadis yang manis, pasti besarnya cantik!” Puji yang lainnya, yang membuat Aqilla semakin merinding ketakutan.
“Dek, zaman udah berubah banyak, jangan sampai kamu ketinggalan, loh. Jadi, niat kami ini baik. Mau ngajarin gimana pergaulan remaja ditahun-tahun depan. Daripada jadi katro, mending ikutan kita!”
Mereka tertawa, tawa yang mengerikan bagi Aqilla. Hampir saja Aqilla dicekoki minuman oplos, jika saja sepeda milik Lateef tidak menabrak tubuh mereka duluan.