Awalnya semua tampak baik-baik saja. Latef hanya mengendarai si hhitam sembari membonceng Aqilla dibelakangnya. Sampai beberapa meter didepan rumah, Lateef melihat itu. Ada keributan didepan rumah mereka. Banyak pereman yang dengan bengisnya mengobrak-abrik rumahnya. Para preman itu tidak menghiraukan Ibu yang sedang mencercau mengatakan untuk hati-hati dengan barangyang mudah pecah. Telinga Lateef mendengar sayup-sayup keributan itu.
Disana bahkan ada Abi yang sedang terduduk lemas dengan pikiran yang kosong. Juga Ghibran yang tengah berdiri dengan kebingungan. Mungkin dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dengan tas juga motor yang belum dimatikan, sangat terlihat jika dia baru saja pulang.
Saat ibu dengan berani mencoba mengentikan para preman itu, dengan kasar tubuhnya didorong begitu saja sampai terjatuh kelantai. Itulah yang membuat Ghibran langsung berlari dan membantu ibunya untuk berdiri kembali.
Dan saat itulah Lateef meminta Aqilla untuk turun dan bersembunyi. Dilihat dari berbagai pandanganpun, situasi ini tidak baik bagi Aqilla. Bagaimana jika mereka menyakiti adiknya itu? Tidak akan dia biarkan.
“Saya tidak tahu apa masalah kalian dengan keluarga ini. Tapi tolong, jangan berbuat kasar. Jelaskan secara perlahan, dan mari selesaikan dengan kepala dingin.” Ucap Ghibran tidak terima saat para preman itu mendorong Ibunya. Walau baru beberapa bulan mereka bersama, tapi Ghibran sangat menyayangi dan menghormati Ibunya itu.
“Abi, ada apa ini?” Tanya Lateef sesaat setelah dia sampai tepat dihadapan Abinya.
Kondisi Abinya sangat mengkhawatirkan. Tampak tertekan, sampai-sampai diahanya yerduduk diteras dengan pandangan kosong, membiarkan para preman itu menghancurkan rumahnya.
“Kalian dengar ini!” Teriak preman itu sembari menunjukkan tangannya kepada Ghibran, Lateef, juga Ibu. “Dia telah meminjam uang dengan jumlah yang sangat besar kepada Tuan kami, selama 4 bulan ini si Ba****n itu tidak membayarnya! Jika kalian bisa, bayar sekrang juga.”
“Berapa? Berapa hutangnya?” Tanya Ghibran berusaha setenang mungkin.
“2,5 Triliun.”
Jawaban itu mampu membuat diam semua orang. Lateef hanya memandang Abinya tidak percya, untuk apa uang sebesar itu? Sementara Ghibran hanya mengacak kasar rambutnya. Sebesar itu? Bagaimana bisa dia melunasi uang sebesar itu saat ini? Dia masih kuliah, walau dia mempunyai uang tabungan dari berbagai lomba yang diikutinya, tapi semua itu tidak akan cukup untuk membayar hutang Ayahnya itu.
“Bagaimana? Kalian tidak sanggup bukan? Kalau begitu, cepat pergi dari rumah ini. Bahkan harga rumah ini tidak sampai setengah dari hutang Ayah kalian” Katanya pongah. “Mungkin untuk membayar sisanya tuan kami akan menjebloskan pria tua itu kedalam penjara, dengan kasus penipuan!”
“Jangan! Jangan ambil rumah ini! Saya mohon jangan!” Dengan posisi berlutut tepat dihadapan para preman itu, Ibu menangis tersedu-sedu dan memohon. Merendahkan dirinya.”Ghibran, nak, bantu Ibu. Jangan biarkan mereka mengambil rumah ini. Tolonglah.”
Ghibran berjongkok, wajah tegangnya sangat terlihat. “Bu, ayo berdiri. Jangan rendahkan diri Ibu dihadapan mereka. Kita akan tinggal dirumah lain untuk sementara waktu, sampai Ghibran bisa menemukan cara untuk mengambil kembali rumah ini. Ya?”
“Tidak! Ibu tidak mau. Ibu tidak ingin kembali miskin, ibu ingin rumah ini, kekayaan ini!”
“Bu, Allah SWT lebih kaya. Kita hanya kehilangan sedikit, Allah SWT akan menggantikannya dengan yang lebih besar, lebih banyak. Sepanjang kita sabar. Ini ujian, dan kita harus ikhlas dalam menjalaninya.” Jelas Ghibran pelan-pelan.
“Tidak… Ibu tidak mau…” Lirihnya.
“Ambil barang-barang pribadi kalian. Rumah dan seisinya menjadi milik kami sekarang.”
Tidak ada yang meolak. Dengan todongan pistol dan pisau, Gibran, Lateef, bahkan Abi dan Ibu mereka mengemasi barang-barang mereka.
Berat sebenarnya untuk Ghibran ataupun Lateef meninggalkan rumah ini. Bukan karena rumah ini besar, tampak mewah, tapi karena banyaknya kenangan disini. Ghibran, Lateef, Aqilla, mereka tumbuh besar disini. Bermain bersama disini, kejar-kejaran sampai Umi berteriak untuk membuat mereka berhenti. Tempat dimana keluarga Imran dididik, madrasatul ula bagi mereka.
Banyak kenangan yang terputar. Saat mereka makan bersama dimeja makan, main-main didapur dengan Umi, shalat bersama di Mushola kecil milik mereka, tadarus bersama, belajar bersama, menonton Tv bersama, dan banyak lagi kebersamaan lainnya.
Apalagi dengan mendiang Umi mereka. Tidak ada yang ingin meninggalkan dan melupakan kenangan itu.