Saat arus lautan mulai menderas, saat tanda-tanda badai itu akan datang, cara teraman untuk mengatasinya adalah menepi. Kapten akan membanting setirnya, mencari tempat teraman untuk berlindung. Menepikan kapalnya. Hanya menepi, bukan bermaksud untuk berhenti dari perjalanannya.
Begitupun yang dilakukan Abi. Saat kondisi perusahaannya sedang terancam, tugas Abi lah sebagai pemilik untuk menyelamatkan. Abi membanting stir dengan mengikuti patungan uang sekaligus meminjam uangnya kepada Bibi. Bukannya Abi lupa jalan, atau malah mau menghentikan perjalanannya, Abi hanya menepi untuk mencari perlindungan. Jika bukan karena tipuan, maka rencana Abi telah sempurna. Perusahaan terselamatkan, dan penumpang akan baik-baik saja.
Ini bukan kegagalan. Tapi ini sudah direncanakan. Ada sekenario yang sempurna yang telah disiapkan. Penuh kejutan, scane diluar nalar, atau bahkan ending yang mencengangkan. Bak drama tv, kejadian ini telah tertulis sebagai salah satu dari alur kehidupan Abi. Mungkin ini ketentuan terbaik, itu artinya akan ada kebaikan lain yang menunggunya.
Ini bukan kutukan, bukan juga pengaruh buruk dari apalah. Ini hanya sebuah ketentuan yang harus dijalani. Abi jadi ingat saat dia pernah mengalami kasus seperti ini dulu, saat awal-awal dia merintis perusahaan itu. Saat itu Umi masih ada disisinya, selalu mendukung setiap usahanya.
Saat itu perusahaannya masih berada digelombang bawah, hampir mati sebelum berkembang. Abi putus asa, hampir saja menutupnya jika saja Umi tidak datang dan menyemangatinya.
“Ibarat membaca buku, kita tidak akan tahu akhirnya jika terlanjur takut dengan jalan ceritanya, bukan? Abi sendiri yang bilang, jika kegagalan adalah kebaikan yang belum kita ketahui. Allah SWT itu penuh misteri, banyak kejutan yang Dia persiapkan untuk kita. Jadi, kenapa Abi harus takut? Optimis Bi, karakter seorang muslim. Abi ingat teladan Abi sultan Muhammad II? Saat beliau mengepung konstantinopel, apa langsung berhasil? Tidak, kan.” Kata Umi dengan suara lembutnya.
“Dia juga pernah gagal. Tapi apa sultan berhenti? Tidak, dia malah terus mencoba lagi dan lagi. Gagal satu strategi, kembali lagi dengan strategi yang lain. Jika sultan bermental pesimis seperti kita, menyerah diserangan pertama, maka tidak akan ada kebebasan benteng terkuat itu. Kenapa Allah SWT begitu memperkuat karakter sultan? Sebagai contoh untuk generasi selanjutnya. Sebagai pengingat jika karakter seorang muslim itu enggak gampangan, tapi kuat dengan pendiriannya. Optimis dan pantang menyerah. Apa Abi mau berhenti dengan serangan pertama?” Tanya Umi.
Saat itu Abi tersenyum kembali dan menggeleng dengan tegas. Tidak. Kenapa dia harus menyerah semudah ini? Ini belum apa-apa, perjalanannya masih jauh. Jika dia menyerah, maka dia tidak akan tahu kelanjutan dari kisah perjuangannya ini.
“Maju Bi, gagal satu coba yang lainnya. Yakin, deh, kalau Abi belum berhasil kali ini maka ada lain kali yang menunggu Abi. Pertolongan Allah SWT itu dekat, tergantung bagaimana usah dan sabar kita dalam menggapainya. Semangat, awali segala hal dengan Bismillah. Bawa Allah dalam setiap langkah Abi, ya?”
Waktu itu selalu ada Umi yang akan mendorong Abi untuk maju ketika dia ragu-ragu. Saat keputusannya untuk mundur mendominasi, maka Umi lah yang berperan sebagai tangan yang menariknya kembali. Dulu masih ada umi yang siap membagi lukanya, yang selalu menepuk pundaknya dan mengatakan enggak apa-apa, ini yang terbaik yang harus kita jalani. Tetap jalan, jangan berhenti. Selalu berusaha yang terbaik, banyakin sabar sama do’a, sisanya tawakal.
Tapi sekarang? Tidak ada siapapun. Tidak ada lagi tempat yang nyaman untuk berbgi duka, tempat yang tepat untuk bersikap lemah, lelah. Tidak ada lagi elusan lembut penuh semangat itu, tidak ada lagi.
Abi harus kuat, dia benteng pertama bagi anak-anaknya, seorang pelindung. Abi harus tegar, karena dialah sumber utama dari kekuatan keluarga. Jika dia lemah, maka lemah pula yang lainnya. Seperti akar yang bertanggung jawab penuh pada tanaman, jika dia mati maka mati pula batangnya.
Abi harus kuat.
Waktunya untuk sarapan pagi. Tepat pukul 06:30. Beberapa menit lagi Aqilla dan Lateef harus pergi kesekolah, jika tidak mereka akan terjebak diluar gerbang untuk seharian. Tidak dengan Ghibran yang memutuskan untuk bekerja saja daripada melanjutkan kuliahnya. Memang hampir tidak ada pekerjaan bagus dengan ijazah SMA, setidaknya dia bisa bekerja saja itu cukup. Entah jadi kuli bangunan, pelayan, atau apalah.
“Emm… masakannya enak, siapa yang masak?” Tanya Lateef berusaha mencairkan suasana.
“Kakak dong! Telur buatan kakak enak kan, Aqilla?”