‘Prank!’
Tangan Aqilla semakin erat mencengkram lengan Ghibran, matanya tertutup rapat menghilangkan segala kengerian yang dirasakannya. Begitupun Ghibran yang hanya menarik napas dalam-dalam dan pasrah. Lagi, dan lagi pertengkaran Orangtuanya terjadi. Sudah 5 bulan semenjak kejadian peminjaman uang yang membuat mereka pindah kekontrakan, setiap malamnya selalu saja ada pertengkaran luar biasa dari perkara biasa. Haih, dasar syaithan penggoda yang membuat gila manusia.
Lateef hanya mengepalkan lengannya marah. Rasanya ingin dia keluar kamar, berdiri ditengah-tengah antara Ibu dan Abi. Kalau bisa, ingin sekali dia tarik lengan Ibunya keluar kontrakan, dan membiarkannya hidup sendirian diluar sana. Coba lihat, apakah dia bisa mendapatkan kembali rumah lamanya?
“Aku muak tinggal bersama kalian yang tidak memiliki masa depan! Lihatlah, dulu aku cantik, terurus. Dan sekarang? Lihat apa yang kalian lakukan! Aku sudah mirip orang gelandangan!” Begitu keluh Ibu. Suaranya semakin meninggi, matanya menyalak marah, sampai-sampai urat lehernya terlihat jelas.
Abi hanya duduk diam diatas kursi meja makan. Dia bisa melawan, mengatakan banyak hal untuk menjawab setiap ucapan Ibu. Tapi satu pikirannya, untuk apa? Tidak ada gunanya melawan. Kalaupun apa yang dia ucapkan benar, bisa membuat bungkam Ibu, tetap saja tidak akan mengubah Ibu sepenuhnya. Toh yang dia inginkan hanya kesenangan, kenyamanan, saat semua itu belum dia dapat maka hatinya tidak akan pernah mau menerima. Akan selalu memberontak.
“Hei! Bicaralah! Kamu itu lelaki. Seorang suami. Mana tangung jawabmu terhadap keluarga, Hah?! Sudahlah, mana bisa berbicara dengan orang dungu lagi bisu? Membuang tenaga.” Ucap Ibu yang masih berteriak.
“Dengar, Senin kemarin aku meminjam uang kepada Bu Rt untuk membeli paketan kecantikan. Tidak terlalu mahal, hanya satu juta. Besok tempo pembayaran, bayarlah.” begitu katanya sambil berlalu menuju kamar tidur.
Abi hanya menarik napas pelan. Masih dalam keadaan diam, tanpa berkata walau sedikitpun.
“Kak Ghibran,” Panggil Aqilla pelan.
“Hmm?” Sahut Ghibran lembut yang langsung kembali mengelus rambut Aqilla yang tengah tiduran di pahanya.
“Kenapa Ibu marah-marah pada Ayah setiap hari? Kasihan Ayah, dia pasti capek bekerja, pas pulang kena omelan. Apa Ibu marah gara-gara Aqilla? Katanya Ibu tidak akan marah jika Aqilla pergi dan tinggal bersama Bibi. Aqilla bisa, kok, kalau harus tinggal sama Bibi.” Kata Aqilla dengan polosnya.
Ghibran tersenyum ngilu mendengar perkataan Aqilla. Adik kecilnya, sekecil itu dia mau untuk berkorban demi orang lain. Kepekaannya terangsang terlalu cepat. “Semuanya akan baik-baik saja, Aqilla. Percayalah. Semuanya akan baik-baik saja walau kamu tidak tinggal dengan Bibi. percayalah”
Aqilla mengangguk kecil. Walau sedikit tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Ghibran, setidaknya dia akan percaya dengan perkataan kakak tertuanya itu. Dan entahlah bagimana takdir memberikan keputusannya. Akankah ucapan Ghibran terjadi, atau malah tidak sama sekali.
“Kak Ghibran.”
“Hmm?”
“Aqilla rindu Umi.”