“Ren, Ren!” Dara menepuk-nepuk Ren yang sedang khusyuk melamun.
“Hm?” Ren menjawab tanpa menengok, tatapannya masih tertuju pada foto presiden dan wakil presiden di atas papan tulis.
“Ngapain, sih, liatin foto presiden?”
“Menurut lo, gue bisa nggak ya jadi presiden?” tanya Ren dengan suara pelan dan datar.
“Bisa banget, Ren,” jawab Dara penuh keyakinan.
“Oh, gitu?” Ren menatap Dara dengan penuh haru, menganggap temannya itu baru saja memberikan pujian.
“Iya! Nanti malem kan lo pasti tidur. Nah, bisa deh tuh mimpi jadi presiden,”
Ren mencibir, kemudian bertanya, “Ada apa?”
“Gue pengen nge-post foto, nih, trus gue pengen pake quote bijak gitu buat dijadiin caption,”
“Oh, emang isi fotonya apa?”
“Foto gue,” Dara menunjukkan foto yang ingin dia post. Foto dengan gaya candid sambil menyesap minuman boba yang baru saja ia beli di kantin sekolah ketika jam istirahat pertama itu diambil oleh Nadia beberapa menit yang lalu. Setelah tujuh kali take, akhirnya dapat juga yang (menurut Dara, sih) hasilnya bagus.
Dara ini sebenarnya nggak jelek kok, cuma sok ngartis aja.
“Kenapa harus pake quote?” tanya Ren yang kurang paham.”Kalau cuma foto lo doang sih, tulis aja ‘aku cantik nggak, guys?’”
“Ih. Nggak keren atuh, Narendra!”
“Kalau pake quote bijak, kan, nggak nyambung sama fotonya. Apalagi si objeknya sendiri nggak ada bijak-bijaknya sama sekali.”
“Nih ya, Ren, gue kasih tau. Jaman sekarang itu orang dapet likes bukan karena fotonya bagus, tapi karena caption-nya yang bagus!” kata Dara tidak sabar.
Ren hanya mengangguk-angguk, pura-pura paham. Ia benar-benar tidak mengerti logika para pengguna medsos, makanya Ren sendiri jarang aktif di media sosial meskipun memiliki akun.
“Berarti kalau misal gue nge-post foto sehelai tisu basah terus caption-nya pake quote bijak tentang menghargai makna kehidupan, orang bakal banyak yang ngasih like ya, Dar?”
“Bodo amat, ah. Capek gue ngomong sama lo,” kata Dara. “Gue kan mau pake quote bahasa Inggris, ya. Nah, lo taulah kemampuan Inggris gue gimana. Kalau lo kan lumayan ngerti, jadi gue mau minta tolong sama lo cariin quote Inggris yang ngena gitu lho, Ren.”
“Kenapa nggak pake bahasa Indonesia aja, atuh?”
“Kurang keren, ah.”
“Banyak gaya lo. Ya udah sini hapenya,” Ren mengulurkan tangannya.
“Pake hape lo aja!”
“Ogah, kuota gue tinggal dikit. Mubazir banget sisa kuota gue dipake buat nyariin kata-kata bijak buat lo.”
“Astaga Narendra pelit amat. Kuota lo abis buat apa, sih? Pacar nggak punya, mainan medsos jarang. Nonton bokep ya, lo?”
“Sembarangan. Jadi, mau gue cariin nggak? Keburu bel masuk, nih.”
Dengan enggan Dara memberikan handphone-nya ke Ren. “Jangan buka-buka gallery, ya!”
“Ya ampun, ngapain juga kalau isinya foto-foto muka lo doang, mah,” tukas Ren.
Setelah lima menit, Ren mengembalikan handphone ke Dara dengan sebuah kalimat berbahasa Inggris yang ia tulis di notes.
“Gue tulis di notes tuh biar nggak ilang,” kata Ren. Dara membaca kalimat tersebut, mengernyitkan dahi dan bilang bahwa bagus juga kata-katanya.
“Artinya apa ini? Yang ngomong siapa, kok nggak ada nama orangnya?” tanya Dara.
“Tentang persahabatan, Dar. Pokoknya ngena banget, deh! Tapi nggak ada info gitu yang ngomongnya siapa,” jawab Ren.
“Oke, makasih Narendra!” kata Dara penuh semangat. Ia kemudian mengedit fotonya dan di-post menggunakan kata-kata yang diberikan oleh Ren.
Bel tanda istirahat selesai berbunyi. Tiga menit kemudian, Pak Zul guru kesenian memasuki kelas. Pak Zul dijuluki oleh para siswa sebagai guru yang makan gaji buta. Pasalnya, setiap pelajaran kesenian, siswa hanya diminta untuk bermain musik. Bebas, mau main alat musik apa saja, memainkan lagu apa saja, nyanyi apa saja. Musik klasik boleh, musik tradisional boleh, musik metal juga boleh. Pokoknya, selama itu ada hubungannya dengan musik.
Pelajaran ini adalah pelajaran favorit Ren, Javier, dan Abu. Ren dan Javier senang karena memiliki selera musik yang sama dengan Pak Zul, yaitu rock dan metal. Jadi selama pelajaran kesenian, Ren, Javier, dan Pak Zul sibuk membahas soal band-band rock klasik, sambil terkadang nyanyi bareng. Abu senang karena itu satu-satunya mata pelajaran di mana ia diperbolehkan untuk menulis puisi, karena toh masih ada hubungannya dengan seni. Ia juga jadi bisa memamerkan puisi-puisinya ke Pak Zul, yang kemudian akan diberikan saran dan masukan setelahnya.
Bagaimana kalau mau ulangan kenaikan kelas? Seminggu sebelum pekan ulangan, Pak Zul akan membagikan handout berisi sedikit materi yang ada hubungannya dengan kesenian yang diambil dari internet. Soal-soal ulangannya merupakan pertanyaan-pertanyaan mudah dari materi tersebut.
Pak Zul adalah guru kesayangan para siswa karena sifat santainya itu. Berbeda dengan Pak Karim, guru kesenian sebelumnya, yang setiap dua minggu sekali mewajibkan seluruh siswa untuk membuat sebuah karya seni. Hal ini menjadi ancaman besar bagi siswa-siswa yang sama sekali tidak memiliki bakat seni. Bahkan, saking stresnya karena tidak mendapatkan ide apapun, ada yang sampai muntah-muntah.
Tidak semua siswa memiliki bakat bermusik, atau seni secara keseluruhan, sehingga beberapa siswa ada yang lebih memilih untuk melakukan hal lain ketimbang bermusik. Rana, misalnya, yang sibuk dengan buku catatannya, atau Dara dan Nadia yang sedang menonton video orang lagi ngomel-ngomel di medsos. Memang lagi trend-nya.
Nadia yang sedang melihat-lihat ke sekitar sementara menunggu Dara mencari video lainnya, mendapati Rana yang sedang duduk sendirian.
“Dar, si Rana itu kayaknya pemalu, ya?” kata Nadia sambil mengarahkan dagunya ke arah Rana.