“Bobby, stop! Kita tidak sendirian di sini.” Nyonya Vincent, berbisik memperingatkan.
Mendengar teriakan tertahan ibunya, dua kakak beradik yang tengah bermain pusara ombak, saling terbahak sambil berguling-guling di pasir pantai.
“Mom selalu saja mengganggu keseruan kita,” protes Henry bersungut-sungut sambil berjalan mendekat kepada ibunya, tubuh dan pakaiannya penuh pasir.
“Ini tempat umum, Henry!” tegur ibunya galak.
“Kalau begitu belilah pulau pribadi agar aku dan kak Bobby bisa bermain sepuasnya tanpa...”
“Buang ide konyolmu. Sekarang ayo makan siang dulu.” Ibunya memotong kalimat Henry yang belum tuntas.
Bobby dan Henry adalah kakak beradik dari nyonya dan tuan Vincent. Keduanya sangat akur walaupun sangat berbeda. Perbedaan yang paling mencolok adalah sorot mata Bobby yang tajam berwarna campuran antara biru-abu, biru-hijau, biru-amber, bahkan biru-hijau keabu-abuan. Sorot mata inilah yang membuat Bobby tampak unik, seunik kisah hidupnya.
Bobby yang terlahir dari rahim nyonya Vincent hampir 16 tahun yang lalu, sebenarnya bukanlah murni keturunan tuan dan nyonya Vincent. Bobby adalah seorang keturunan Raja di Kerajaan Angin, sebuah kerajaan yang tersembunyi di balik kabut tebal. Ia diculik oleh peri jahat saat usianya 3 bulan di dalam kandungan dan dibuang ke dalam rahim nyonya Vincent, ibu yang melahirkan dan merawatnya sejak bayi. Bobby juga dikaruniai kekuatan istimewa yang mengalir di dalam darahnya sejak ia di dalam kandungan.
Kini Bobby telah semakin dewasa. Pengendalian diri terhadap kekuatannya pun sudah sangat sempurna. Dia bisa bermain dengan ombak dan angin pantai bersama Henry, di tengah-tengah keramaian pengunjung yang lainnya, tidak harus dijaga ketat seperti waktu Bobby masih kecil dan belum bertemu dengan para Pemburu Kerajaan1) yang mengabarkan siapa dirinya sebenarnya dan membawanya ke Kerajaan Angin untuk bersekolah.
Liburan ini adalah liburan terakhir Bobby di Terra, sebelum ia menempuh ujian level akhir, 6 bulan lagi dan melanjutkan ke jenjang pendidikan militer selama 1 tahun. Usai ujian level 8 anak-anak Apicti tidak pulang ke rumah melainkan langsung memasuki asrama militer.
Saat ini, Bobby telah mencapai level akhir di pendidikan dasar yang ia tempuh selama enam tahun. Maka tibalah saatnya Bobby dan kedua sahabatnya menempuh ujian level akhir, level 8.
“Aku gugup sekali,” bisik Bobby. Dia, Evan dan Galang duduk bersila di aula tingkat tiga gedung asrama militer di Gis Stratioki, menunggu giliran memasuki ruang sidang untuk mengikuti ujian level 8. Di ujian tingkat ini, mereka diuji satu persatu di dalam ruang sidang pembelajaran yang seluas aula. Itu akan membuat siapapun gemetar dan gugup.
“Santai saja lah, kita sudah mencerna seluruh materi di tingkat 7-8 dengan matang. Waktu dua tahun itu tidak sebentar, sobat. Kita pasti berhasil,” jawab Evan santai, sambil bersandar di tembok.
“Jangan sombong. Bisa-bisa kau gagal karena kesombonganmu sendiri,” gerutu Galang.
Evan mendengus keras. “Kau berharap aku gagal?” sungutnya.
“Tentu saja tidak. Aku hanya mengingatkan, jangan terlalu percaya diri atau kau justru akan gagal karena itu.” Galang mengingatkan sekali lagi.
“Oke, oke. Habis kalian cerewet sekali. Berisik sek…”
“Evano Morage.” Nama Evan di sebut dari dalam ruang sidang. Evan melonjak kaget dan segera berdiri.
“Doakan aku kawan,” katanya, menepuk pundak kedua sahabatnya sambil melangkah kaku ke dalam ruang sidang. Wajahnya seketika berubah memutih.
“Semoga sukses!” Bobby dan Galang balas menepuk tangannya.
“Punya takut juga dia. Lihat wajahnya yang tegang,” kata Bobby, menahan senyum.
“Lihat caranya melangkah. Seperti bebek.” Galang terkikik.
“Dua tahun bukan waktu yang sebentar, sobat. Hahaa...” Galang dan Bobby tertawa lirih bersama-sama.
“Semoga dia baik-baik saja di dalam sana.” Sela Galang.
“Semoga masih terdapat sisa-sisa kesombongan di tampangnya tadi, di dalam sana,” jawab Bobby. Keduanya terkikik geli.
Empat setengah jam kemudian, Bobby, Galang dan Evan menuruni anak tangga dengan perasaan puas. Bobby yang paling akhir memasuki ruang sidang. Sejauh ini, mereka merasa mampu melalui ujian dengan sangat baik.
“Semoga hasilnya segera keluar. Aku sudah tidak sabar,” seru Evan senang.
“Hasil ujian akan langsung muncul di papan pengumuman satu jam lagi. Ayo cepat, kalian menghalangi jalan,” jawab suara di belakang mereka. Ketiganya menoleh dan menemukan Baruto, anak level 8 yang gagal menempuh ujian tiga tahun lalu. Dia berusia 19 tahun sekarang, berbadan tegap, tinggi besar dengan rambut hitam sepanjang pinggang. Alisnya tebal, mata kuningnya menyorot tajam. Bobby, Evan dan Galang segera menepi ke sisi tangga.
“Maaf,” kata Galang.
“Tidak masalah. Ayo, kalian tidak ingin menunggu hasil ujian?” kata anak itu lagi.
“Kami mau makan siang dulu,” jawab Evan.
“Masih mampu mengunyah jatah makan siang?” tanya anak itu membelalak.
“Tentu saja, berpikir sangat menguras tenaga. Itu membuat kami kelaparan,” jawab Evan. Anak laki-laki tinggi besar itu mendengus kesal dan berlalu pergi meninggalkan mereka bertiga.
“Kenapa dia?” tanya Evan.
“Mungkin dia sedang kacau. Dia tidak lulus ujian waktu enam belas tahun. Tentunya sekarang kesempatan terakhir baginya, atau akan sangat memalukan,” jawab Galang.
“Aku tidak pernah melihat anak itu,” kata Evan lagi.
“Dia berada di kelas lain,” jawab Galang.
“Pantas saja.”
Mereka bertiga turun ke ruang makan yang telah di siapkan di lantai satu, khusus untuk anak-anak yang usai mengikuti ujian. Ruangan luas itu kosong, hanya terlihat beberapa anak yang mengitari meja-meja segi empat, sedang makan dengan malas. Mereka bertiga segera mengambil makanan dan duduk di meja bundar paling ujung. Dua meja di sebelahnya, seorang anak perempuan pucat dengan rambut putih panjang menjuntai sedang duduk sendirian. Kepalanya menunduk. Tidak ada piring, gelas atau makanan apapun di mejanya. Dia hanya diam dan menunduk.
“Siapa anak itu?” tanya Evvan. Kedua temannya menggeleng.
“Sepertinya aku tidak pernah melihatnya,” bisik Evan lagi.
“Mungkin di kelas sebelah.”
“Aku sama sekali tidak pernah bertemu dengannya. Berpapasan pun tidak,” Evan bersikeras.
“Biarkan saja lah. Ayo cepat makan.” Galang menutupi pandangan Evan dari perempuan itu, dengan duduk persis di depannya, membelakangi anak itu.
Makanan terasa lebih lezat dari biasanya karena mereka benar-benar lapar. Ketiganya segera makan dengan lahap. Usai makan, mereka langsung menuju papan pengumuman di aula depan. Sudah banyak anak-anak yang berkumpul di sana menunggu pengumuman muncul.
Lima menit kemudian, semua anak saling berebut di depan papan. Pengumuman kelulusan telah muncul.
“Biarkan saja mereka dulu, aku malas terinjak-injak anak-anak bongsor itu,” kata Evan, bersandar di birai tangga. Dia enggan maju dan berdesak-desakan di depan papan. Bobby dan Galang ikut menunggu di sana.
Mereka melihat sorak sorai gembira, tos sukses, jerit kemenangan, sampai tangis tertahan karena bahagia. Tetapi mereka juga menemukan wajah-wajah murung dan kecewa yang pergi dari balik kerumunan sambil menunduk, beberapa meneteskan air mata dalam senyap. Itu mereka-mereka yang gagal.