Bobby berlari kencang, membuat jarak sejauh mungkin dari rumahnya. Dia tahu tidak mungkin lagi dia menggunakan badai topan karena itu akan sangat mudah di lacak sekarang, setelah Raja tahu dia kabur. Pengawal istana akan mengaktifkan alat pemindai kekuatan angin di atas normal. Karenanya Bobby memilih berlari.
Bobby mengaktifkan kekuatan pendengarannya dan mulai memindai sekelilingnya. Dia tahu Bala Tentara Angin sedang berpencar, mengarah ke posisi delapan mata angin, untuk mencegah Bobby kabur. Tetapi mereka masih sangat jauh. Bobby masih sempat mendahului mereka di perbatasan penjagaan mereka.
Bobby terus berlari kencang menjauhi rumahnya, hampir melewati batas titik penjagaan Bala Tentara Angin ketika dia menyadari bahwa jejaknya memporak-porandakan sekelilingnya.
“Oh, sial. Aku membuat jejak. Bodoh!” Bobby mengumpat pada dirinya sendiri.
Ia berhenti beberapa ratus meter kemudian. Matanya menyapu ke sekelilingnya, sejauh beberapa meter di sekitarnya. Pohon-pohon kecil tumbang, ranting-ranting patah, daun dan bunga berguguran, debu beterbangan seolah baru saja tersapu angin kencang.
Bobby mencari celah. Jauh di depannya terdapat persawahan gandum, seluas puluhan hektar. Bobby segera berlari ke sana. Tiba di tepi sawah, dia mulai berlari kencang, kemudian dengan cepat menikung ke kiri, berlari berputar membentuk lingkaran besar di sekeliling persawahan. Padi-padi yang di lewatinya roboh oleh kekuatan anginnya.
Bobby terus berputar hingga jejaknya membentuk crop circle dan menghilang di tengah-tengah pusaran. Kemudian dia berlari berputar ke atas, menjaga kecepatan dan putarannya tetap stabil agar dia bisa terus naik hingga melebihi awan. Bobby mengubah arah berlarinya ke kanan, terus berlari kencang bagai topan, menahan udara pada tiap-tiap gumpalan awan agar padat saat diinjak.
Setelah bermil mil berlari, Bobby mengurangi kecepatannya secara konstan sambil mulai mengarah turun hingga kembali menapak di tanah. Tetapi dia sama sekali tidak bermaksud untuk berhenti. Ini belum terlalu jauh dari batas penjagaan bala tentara angin. Kemungkinan mereka akan menemukannya masih sangat besar. Bobby meneruskan berlari di antara pemukiman, persawahan dan hutan. Kali ini lebih perlahan agar tidak menimbulkan efek angin kencang. Sesekali dia berhenti untuk beristirahat, minum di keran air atau mencari buah-buahan di hutan, tetapi dia tidak pernah tinggal untuk bersantai.
Dua hari kemudian, setelah yakin dirinya telah melewati beberapa negara dari kediaman orang tuanya, baru lah Bobby berhenti di tengah hutan belantara. Bobby mengatur nafasnya sejenak, kemudian memeriksa sekeliling, memastikan bahwa dia tidak sedang di ikuti. Setelah yakin keadaan aman, Bobby mencari sebatang pohon dan bersandar di sana. Dia bermaksud untuk tidur selama beberapa jam, sebelum mencari makan dan melanjutkan perjalanan hingga menemukan tempat yang tepat untuk menetap sementara.
Bobby memasang lingkaran badai tipis di sekelilingnya agar hewan buas tidak mendekat saat dia tertidur. Embusan angin dari badai buatannya menerbangkan rambut panjangnya. Dalam beberapa menit saja mata Bobby mulai terasa berat dan dalam hitungan detik sudah menutup.
Sepertinya baru dua menit Bobby terlelap, dia dikejutkan oleh kilat terang yang menyambar di antara badai ciptaannya. Bobby melonjak kaget dan seketika berdiri. Dia menatap ke sekeliling badai yang mengelilinginya, tetapi segalanya tampak tenang. Kemudian kilat menyambar sekali lagi, Bobby melonjak menjauh.
“Apa yang terjadi. Apa yang salah dengan badai ini?” dia bergumam dengan panik.
Bobby mengangkat tangannya kanannya, menyerap badai yang dia ciptakan ke dalam telapak tangannya. Begitu badai menghilang, dari ujung jauh terlihat kilat kembali menyambar ke arah Bobby. Dengan gesit Bobby mengirim pusara badai untuk menyerap sambaran petir. Keduanya bertabrakan dan menimbulkan gelegar guntur yang membahana memekakkan telinga.
Tidak menunggu gelegar guntur itu hilang, kilat kembali menyambar. Kali ini Bobby memasang tameng badai untuk menahan kekuatannya. Sayangnya kilat itu terlalu kuat. Kedua kekuatan itu meledak di tengah arena pertarungan, menimbulkan percikan api dan letusan keras seperti kembang api raksasa.
“Siapa kau?!” teriak Bobby kepada siapa pun yang berada kira-kira lebih dari 100m darinya dan mengirim sambaran-sambaran kilat kepadanya. Suaranya menggema menggelegar di tengah hutan.
Bukan jawaban yang Bobby dapat, melainkan serangan berikutnya. Bobby kembali menahan serangan dan gemuruh guntur kembali menggelegar di tengah hutan, kali ini jauh lebih dahsyat dari sebelumnya.
Ini harus dihentikan. Serangannya semakin kuat. Suaranya bisa terdengar sampai di tengah pemukiman. Pikir Bobby.
“Siapa di sana? Haize tidak mengeluarkan petir. Apa kau seorang Argia?” teriak Bobby lagi, mencoba menebak lawan yang bersembunyi di ujung jauh. Ia memberi isyarat menyerah dengan mengangkat kedua tangannya.
Seseorang itu berhenti menyerang. Bobby bernafas lega, walau masih tetap waspada.
Kemudian, kilatan cahaya menyilaukan menyambar di ujung tempat kilatan-kilatan sebelumnya berasal. Bobby sampai memejamkan mata karena silaunya. Saat dia membuka mata, tubuhnya telah terikat oleh lingkaran cahaya yang berpendar redup dan seorang gadis pongah berdiri galak di hadapannya. Gadis itu mengenakan setelan berwarna keemasan yang menempel ketat di tubuhnya, membentuk lekuk tubuh yang sempurna. Kakinya berbalut sepatu boots setinggi lutut, berhak lancip, yang juga berwarna emas menyala. Wajahnya putih kemerahan dengan mata coklat terang dan rambut panjangnya berwarna oranye menyala tetapi tampak lembut dan tidak menyilaukan. Dia seperti mentari fajar di ufuk timur. Dagunya yang lancip sedikit terangkat, menandakan bahwa dia memiliki kekuasaan.
“Espoi?!” gadis itu bertanya tegas. Tidak ada senyum atau keramahan sedikit pun di wajahnya. Matanya menyipit tajam menyelidik. Lengannya kokoh siap membuat serangan baru atau pertahanan.
“Apa itu?” tanya Bobby.
“Mata-mata.” Gadis menyala itu mengerutkan kening, sebelah matanya memicing kejam.
“Espia. Tetapi tidak. Aku, bukan.” Bobby tergagap.
“Tidak ada mata-mata yang akan mengaku,” katanya galak.
“Tetapi aku benar-benar bukan mata-mata. Kau bisa lihat kan, aku tidak memakai seragam pasukan angin,” protes Bobby.
“Tipu daya itu sudah usang. Tidak ada mata-mata yang mengenakan seragam pasukan."
Bobby mendengus pasrah.
“Apa yang kau lakukan di sini. Ini perbatasan kawasan kami,” katanya lagi, masih dengan nada dingin dan wajah pongah.
“Kawasan kalian?” tanya Bobby frustrasi.
“Ya."
"Kawasan apa?"
"Daerah kekuasaan Luxor.”
“Oh! Maafkan aku," refleks, Bobby mengedarkan pandang ke sekeliling. "Aku tidak bermaksud memasuki kawasan kalian tanpa ijin. Aku hanya...” Bobby terdiam, bingung mau menjelaskan bagaimana.
“Hanya apa?”
“Aku sedang dalam perjalanan,” katanya akhirnya.
"Perjalanan ke mana? Bukankah kawasan kerajaan Aero berada jauh di ujung barat daya.
“Dari mana kau tahu aku suku Taifun?”
“Badai yang kau pasang,” sergah gadis itu. Bobby terdiam. Ya, tentu saja gadis itu tahu siapa Bobby.
“Alasan apa lagi yang akan kau katakan.” Gadis itu tertawa sinis. “Katakan alasanmu berkeliaran di batas wilayah kami, atau akan ada yang datang menjemputmu sebentar lagi.” Gadis itu menyipitkan mata dengan bengis.
"Tunggu. Akan aku jelaskan. Sebenarnya, sebenarnya aku sedang dalam pelarian. Aku tidak tahu ke mana aku pergi saat berlari." Bobby memutuskan lebih baik jujur dari pada menimbulkan masalah baru, mengingat tubuhnya sedang terikat erat oleh rantai cahaya.
“Kau buronan Suku Angin?” Gadis itu bertanya lagi, matanya masih memicing tajam antara tidak percaya dan mengancam.
Bobby menimbang-nimbang sebentar, apakah dia sebaiknya mengatakan semuanya atau berbohong.
“Bukan," akhirnya, Bobby memilih mengaku. "Sebenarnya aku seorang Apicti, keturunan Suku Angin yang terlahir dari seorang Terrani.”
“Sejak kapan Suku Taifun memburu kelahiran Terrani?”
“Tidak pernah. Hanya saja, aku usai menempuh pendidikan di Kerajaan Angin dan ingin kembali ke orang tuaku, maksudku orang tua yang melahirkanku. Tetapi aku di larang. Dan sekarang aku sedang dalam pelarian. Tentara Kerajaan sedang mengejarku,” lanjut Bobby.
“Kenapa kau di larang?” dia bertanya, masih dengan intonasi menginterogasi.
“Orang tuaku menginginkan aku tetap berada di Aero,” jawab Bobby, berhati-hati untuk tidak menyebut kata Raja.
“Karena itu kah kau diburu tentara kerajaan?”
Bobby mengangguk.
“Orang tuamu, mengerahkan Haize? Bala Tentara Angin?” Gadis itu mengerutkan kening, bertanya curiga.
Sial! Batin Bobby. Gadis ini begitu cermat.