Tepuk tangan bergemuruh riuh seiring dipasangkannya Mahkota Kerajaan di atas kepala Bobby, pangeran Apicti pertama, calon penerus takhta orang tuanya.
Suku Angin percaya, walaupun pangeran mereka berasal dari rahim Terrani, tetapi karena dia mewarisi darah Sang Raja maka dia akan mampu memimpin kerajaan dengan adil dan bijaksana seperti ayahnya.
“Hidup Pangeran Zefiroz!”
“Hidup Pangeran Zefiroz!”
“Hidup Pangeran Zefiroz!”
.........
Teriakan Suku Angin bergema di seluruh penjuru Kerajaan Angin. Bobby mengangkat tangan kanannya, untuk meredam gemuruh riuh rendah sorak sorai suku Angin.
“Terima kasih atas kepercayaan kalian kepadaku. Juga terima kasih kepada Ayahanda yang telah mempercayakan mahkota ini di atas kepalaku, walau aku masih merasa belum mampu berada di atas kursi kebesaran ini. Tetapi aku akan belajar dari Ayahanda bagaimana bisa memimpin Rakyat Taifun dengan adil dan bijaksana. Semoga Ayahanda senantiasa diberikan umur panjang dan kesehatan oleh Yang Maha Kuasa.” Bobby memberikan sambutan, yang seketika disambut tepuk tangan riuh dari seluruh rakyatnya.
Waktu berjalan sangat cepat. Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Bobby masih rajin mengirimkan pesan kepada keluarganya. Bobby tahu ibunya sakit, tetapi dia belum bisa meninggalkan kerajaan karena kesehatan Raja Zora juga sedang menurun.
"Baginda, bagaimana keadaan Baginda?" tanya Bobby suatu saat, melihat Raja yang semakin pucat.
"Aku sudah sangat tua, anakku. Mungkin sudah saatnya aku menyerahkan takhtaku kepadamu," jawab baginda raja lemah.
"Hamba belum siap, Baginda. Bagaimana jika hamba tidak mampu memimpin rakyat Aero dengan adil dan bijaksana sepertimu."
"Kau Pangeran yang sangat dicintai rakyat. Kau pasti sanggup anakku. Hanya saja, aku ingin bertanya satu hal kepadamu. Tidakkah kau ingin aku melihat permaisurimu sebelum aku pergi?" tanya Raja.
"Paduka Raja yang mulia, hamba belum memiliki pilihan," jawab Bobby.
"Aku tidak membatasi pilihanmu, Nak. Rakyat jelata pun akan aku terima jika itu sudah menjadi pilihanmu."
Bobby tertawa kecil. "Maafkan putramu, Baginda Raja. Hamba belum tertarik pada wanita," jawab Bobby tersipu.
Membicarakan wanita, Bobby teringat pada Tanaya. Sudah berkali-kali Bobby mencoba menghubungi Tanaya menggunakan kalung pemberian Tanaya, namun gagal. Bobby sampai putus asa dan tidak lagi berusaha memecahkan bagaimana cara menggunakan kalung itu. Dia mulai berpikir, Tanaya tidak bersungguh-sungguh dengan kalung itu dan mulai berusaha melupakan kehadiran gadis cahaya itu. Hingga hari ini, Raja mengingatkannya kembali akan kehadiran Tanaya, si gadis cahaya.
Malam itu, Bobby memikirkan Tanaya. Memikirkan betapa menyesal dia terlalu panik dan meninggalkan Tanaya tanpa benar-benar mencari tahu bagaimana cara menggunakan kalung pemberian gadis itu. Mungkinkah saat itu penjelasan Tanaya ada yang terlewat karena Bobby terlampau panik.
Bobby terus merenungkan kejadian waktu itu, mengingat-ingat kembali saat perpisahan mereka untuk mencari sesuatu yang mungkin terlewat oleh pendengarannya, hingga Bobby tertidur.
Malam itu dia bermimpi tentang Tanaya. Dia terbangun dengan perasaan rindu yang berkecamuk di kepalanya. Dia ingin sekali menemui Tanaya, tetapi dia benar-benar tidak tahu bagaimana caranya. Hingga Bobby berpikir untuk kembali ke tempat dia bertemu dengan Tanaya dan berharap bisa menemukan kembali tempat itu. Tidak mudah tentu menemukannya kembali, karena saat itu Bobby berlari tanpa tahu arah.
Saat itulah, sesuatu yang hangat terasa menjalar di dadanya. Rasanya seperti penghangat ruangan yang menempel di tubuh yang tengah menggigil kedinginan. Bobby menunduk untuk melihat apa yang terjadi dan melihat pendar cahaya lembut keluar dari balik bajunya. Bobby segera membuka bajunya dan menemukan cahaya kemilau yang terpancar dari kalung yang dikenakannya, kalung pemberian Tanaya.
“Tanaya...” Bobby menggenggam liontin berbentuk kilat yang berpendar terang itu. Cahaya liontin seakan terserap ke dalam tangan Bobby, membuat tangannya menyala terang.
“Hi Zefiroz. Ternyata kau merindukanku. Aku tidak menyangka,” tawa renyah terdengar entah dari mana, diikuti sapaan riang Tanaya.
Bobby mengedarkan pandang ke sana kemari, tetapi hanya menemukan kekosongan di dalam kamarnya yang luas.
“Tanaya. Aku mendengarmu,” bisiknya senang.
“Tentu saja kau mendengarku."
“Bagaimana kau tahu aku merindukanmu?” tanya Bobby senang, senyumnya terkembang lebar.
“Kau berhasil menggunakan kalung ini. Kau tidak akan berhasil menggunakannya jika pikiranmu tidak benar-benar ingin bertemu denganku,” jelas Tanaya.
“Aku sudah berkali-kali mencoba menggunakan benda ini untuk menghubungimu, tetapi tidak ada yang terjadi. Aku sampai putus asa,” protes Bobby. Dia berjalan ke birai jendelanya, membukanya dan menatap langit gelap jauh di atas sana, berharap bisa menemukan wajah Tanaya yang tersenyum angkuh diantara deretan bintang gemintang.
“Karena kau tidak bersungguh-sungguh,” kata Tanaya.
“Apa maksudmu? Tentu saja aku bersungguh-sungguh.” Bobby menggerutu.
“Haha... Ya, ya. Jadi apa yang terjadi sekarang, Pangeran muda? Dan selamat atas penobatanmu.”
“Tidak ada. Dan dari mana kau tahu aku telah dinobatkan sebagai pangeran,” kata Bobby galak.
Bukannya takut, Tanaya justru terbahak. “Tentu saja aku tahu. Sudah kukatakan telinga kami lebar. Aku pengembara, ingat. Aku mencuri semua informasi yang sedang berkembang di kerajaan-kerajaan tetangga,” jawab Tanaya dengan nada pongah, masih sama seperti yang ada di dalam ingatan Bobby.
“Oh baiklah, itu terdengar keren,” jawab Bobby jengkel.
“Di mana kau sekarang?” tanya Tanaya.
“Istana Aero.”
“Oh, kau belum mengunjungi keluargamu?”
“Aku belum bisa mengunjungi mereka. Baginda Raja sakit sejak beberapa waktu lalu. Tetapi kukira dia sudah membaik sekarang. Aku masih mengirim kabar kepada adikku. Dia bilang ibuku sakit, tetapi sepertinya sekarang juga sudah sembuh. Aku akan segera pulang setelah kondisi Raja benar-benar pulih,” jelas Bobby lirih.
“Tenanglah, Pangeran. Apa kau ingin aku melihatkan mereka untukmu?” tanya Tanaya.
“Berhenti menyebutku begitu, Tanaya!” Sungut Bobby.
“Oh, kupikir itu tidak sopan, Pangeran.” Tanaya Tergelak.
Bobby mendengus kesal.
“Tanaya,” suara Bobby tiba-tiba berubah serius.
“Hmmm...”
“Benarkah kau bisa mengunjungi keluargaku?” tanyanya
“Tentu saja aku bisa,” jawab Tanaya yakin.
“Kau tidak tahu keluargaku. Bagaimana kau bisa mengunjungi mereka?”
“Aku pernah mengirimmu pulang. Kediamanmu sudah terekam dalam base data transportasi kami dan aku bisa menggunakannya kembali untuk mengunjungi keluargamu,” jawabnya tenang.
"Base transportasi kerajaan Luxor?" tanya Bobby.
"Ya."
"Tanaya," kata Bobby ragu-ragu. "apakah itu artinya, siapa pun bisa mengakses alamat keluargaku dan mengunjunginya?"
"Aku tidak sebodoh itu, Pangeran. Aku menyembunyikannya di base pribadiku. Semoga saja tidak ketahuan. Karena jika sampai ketahuan aku mengirim seseorang menggunakan transportasi kerajaan tanpa izin..." Tanaya terdiam, tidak melanjutkan kata-katanya.
"Apa yang akan terjadi?"
"Oh, sudahlah. Itu sudah menjadi urusanku. Sekarang, apakah kau ingin membawa pesan untuk keluargamu atau tidak?"
"Apa yang terjadi, Tanaya?" tanya Bobby, mulai khawatir.
"Tidak terjadi apa pun. Kau lihat, aku masih bebas berkeliaran dan sehat," sungut Tanaya.
"Jangan membohongiku, Tanaya." Bobby bersikeras.
"Ooh baiklah Pangeran muda. Kemungkinan besar mereka hanya akan mengurungku, atau paling baik justru memanfaatkanku untuk menculikmu. Bisa diterima?" jawab Tanaya jengkel.
"Apa kau serius?"
"Bicaralah terus dan aku akan memutus akses liontin ini darimu dan menghapus base data alamatmu dan aku tidak akan pernah mengunjungi keluargamu atau menemuimu lagi." Tanaya mengancam dengan galak.
“Oh, baiklah, baiklah. Maafkan aku. Tapi, dapatkah kau memberiku kabar setelah kau menemui keluargaku?”
“Tentu saja aku bisa. Jika liontinmu terasa hangat saat kau tidak sedang berusaha menghubungiku, itu berarti aku sedang mencoba menghubungimu. Kau bisa menyingkir sementara jika kau sedang berada di keramaian, agar pendar cahayanya tidak menarik perhatian. Liontin itu baru akan berpendar saat kau menyentuhnya, yang berarti kau menerima pesanku.” Tanaya menjelaskan masih dengan nada jengkel.
“Jadi, kau bisa menghubungiku lebih dulu? Tidak harus aku?” tanya Bobby.
“Tentu saja aku bisa.”
“Kenapa kau tidak melakukannya, selama ini? Aku kesulitan berusaha menggunakan alat komunikasi ini,” gerutu Bobby.
“Haha... Tentu saja aku tidak. Bagaimana jika kau tidak ingin mendengarku lagi. Aku hanya ingin kau yang menghubungiku dulu dan memastikan kau benar-benar menginginkannya, baru alat ini bisa bekerja,” gelak Tanaya dari seberang.
“Kau anak nakal!”
Tanaya semakin tergelak mendengarnya.
“Baiklah Pangeran. Aku akan melihat kondisi keluargamu.”