Hampir dua minggu Bobby berada di kediaman ibunya. Dia sempat dua kali menghubungi Tanaya, tetapi lupa sama sekali akan keadaan ayahnya, Raja Zora.
Bobby senang berada kembali di dunianya, sehingga dia tidak berpikir sama sekali untuk berhubungan dengan Kerajaan Angin, sampai saatnya kembali nanti.
Sesuai kesepakatan yang dia buat bersama ayahnya, Raja Zora, dia akan kembali setelah ibunya sembuh atau paling lama satu bulan. Jika Bobby bisa menepati janjinya, maka Raja Zora akan mengizinkannya kapan pun dia ingin pergi mengunjungi keluarganya lagi.
Namun malam ini terjadi sesuatu di luar kendali Bobby. Bala Tentara Kerajaan Angin kembali mendatanginya di kediaman orang tuanya.
“Kau di tangkap, Pangeran!” Mereka langsung membekuk Bobby tanpa memberi penjelasan apa pun.
“Apa-apaan ini! Apa yang kalian lakukan. Aku telah mendapat ijin Raja untuk mengunjungi orang tuaku dan waktuku belum habis,” teriak Bobby. Tubuhnya sudah terikat di atas kursi di ruang keluarganya. Bala Tentara Angin menyerbu masuk saat Bobby dan yang lain tengah asyik bercengkerama sambil menonton televisi.
“Kalau begitu katakan di depan hakim tertinggi," jawab pemimpin pasukan yang bertubuh tinggi kurus dengan wajah runcing seperti rubah.
“Kalian bala tentara bodoh!” Bobby berteriak keras. Barang-barang mulai bergetar dan embusan angin menerobos jendela yang tertutup, membuatnya menjeblak terbuka. Topan besar berkesiur membalut tubuh Bobby. Lima orang tentara di sekitarnya berusaha menahan ikatan yang mereka gunakan untuk menahan Bobby, tetapi mereka terlempar dengan mudah.
“Bobby, anakku,” bisik ibunya lemah. Sudah lama sekali ibunya tidak melihat Bobby hilang kendali seperti sekarang.
"Bobby. Kendalikan dirimu, Nak." bisik ibunya sekali lagi. Seketika badai topan berhenti berputar.
“Apa yang terjadi?” tanya Tuan Vincent kepada bala tentara yang bergelimpangan. Satu di antaranya mencoba kembali berdiri.
“Pangeran membuat kesalahan yang sangat fatal. Ini tidak dapat di bicarakan di sini. Pangeran harus ikut kami untuk memberikan penjelasan di hadapan Hakim Tertinggi,” jelas laki-laki bertubuh gempal dengan rambut panjang yang di kuncir ekor kuda. Seragam tentara kerajaan membalut tubuhnya dengan gagah. Bobby tahu dia Gurka, Leier –Pemimpin– Pasukan Pertahanan.
“Aku tidak akan ikut dengan kalian dan tidak akan memberikan penjelasan apa pun. Aku berada di sini atas ijin Paduka Raja. Jika dia lupa, aku akan mengingatkannya saat pulang nanti,” geram Bobby. Kesiur angin mulai datang lagi. Keempat bala tentara yang lain sudah beranjak berdiri, menguatkan kuda-kuda agar tidak terpental untuk kedua kali.
“Ini perintah. Kami harus membawamu sekarang juga, Pangeran.” Gurka berkata tegas. Tubuhnya berdiri tegap di hadapan Bobby yang masih terikat, walau tatapannya tetap menghormati Bobby sebagai Pangeran.
“Coba saja kalau kalian bisa!” bentak Bobby. Angin kencang kembali memasuki jendela. Langit di luar tiba-tiba menghitam seperti akan terjadi badai besar.
“Hentikan, Nak.” kata Nyonya Vincent sigap. “Mom yakin kau tidak bersalah. Katakan yang sebenarnya di depan hukum. Melawan sama artinya dengan mengakui kesalahan. Ikutlah bersama mereka tanpa melawan. Mom sudah membaik,” jelas ibunya lirih, namun tegas.
“Mom…” Bobby menatap ibunya.
Nyonya Vincent membelai kepala Bobby dengan sayang. “Tunjukkan kepada mereka bagaimana seorang Pangeran seharusnya berkelakuan, Nak. Hadapi dengan kepala dingin. Momy percaya kau seorang Pangeran yang gagah dan budiman.” Seulas senyum sabar menghias bibirnya yang pucat.
“Mom… Berjanjilah padaku Mom akan baik-baik saja selama aku pergi. Aku yakin ini pasti salah paham. Raja tidak mungkin mengingkari janjinya,” jelas Bobby.
“Percayalah pada Momy. Mom akan baik-baik saja. Dan Mom juga yakin Raja bukan seorang yang kejam. Seorang Raja yang bengis tidak akan menurunkan keturunan sehebat dirimu. Pergilah, Nak. Selesaikan segalanya dengan kepala dingin. Ingat, kau bukan Pangeran yang arogan,” jelas ibunya, masih tersenyum sabar.
Bobby mengangguk patuh.
“Aku akan pergi dengan kalian asal kau lepaskan ikatanku. Aku harus berpamit kepada keluargaku,” kata Bobby, menatap Gurka.
“Pangeran...”
“Aku tidak pernah membantah perintah ibuku,” potong Bobby tegas.
Gurka mengangguk dan dalam sekejap ikatan Bobby terurai.
“Jaga dirimu, Mom. Aku tidak ingin mendengarmu sakit.” Bobby berlutut di depan ibunya sebelum memeluknya dengan sayang.
“Maafkan Momy sayang. Mom hanya takut tidak akan pernah bisa bertemu denganmu lagi. Tetapi setelah Mom yakin Raja mengijinkanmu pulang, yakinlah Momakan selalu sehat.” Ibunya meremas lembut wajah Bobby dan mengecup kening Bobby dengan sayang.
“Dad, Henry, maafkan aku. Aku akan segera menyelesaikan ini kemudian menjenguk kalian lagi.” Bobby berdiri, memeluk Henry dan ayahnya secara bergantian.
“Kau akan baik-baik saja, Nak,” bisik ayahnya, balas memeluknya dan menepuk punggungnya dua kali untuk memberikan semangat.
“Kau Pangeran yang hebat,” desis adiknya sambil memeluknya erat. Dia terdengar sangat tegar, walau terselip nada geram di dalam suaranya.
“Mom, berjanjilah untuk tidak seperti kemarin lagi. Berjanjilah kau tidak akan sakit karena mencemaskanku lagi. Di kerajaan aku hidup senang dan dalam kemewahan. Aku tidak ingin kau menderita di sini.” Bobby memohon, kembali menatap ibunya dengan pilu.
Nyonya Vincent mengangguk, tersenyum untuk meyakinkan putranya. “Ya, Nak. Ya aku berjanji,” katanya.
Bobby berbalik, memberi isyarat kepada para penangkapnya untuk pergi. Dia kembali ke Kerajaan Angin tanpa paksaan.
Setiba di istana, Bobby sangat terkejut karena ratusan Bala Tentara Angin telah menunggunya di aula kerajaan. Dia langsung disekap dan kembali diikat. Meskipun kekuatan Bobby jauh lebih besar, tetapi dengan dia sendirian dan terikat, tidak memungkinkan untuk melawan 100 bala tentara yang dikerahkan Sang Raja. Dan lagi, dia mengingat pesan ibunya. ‘Tunjukkan bagaimana seorang Pangeran seharusnya berkelakuan’. Maka Bobby menerima sambutan ini dengan tenang dan dengan kepala dingin.
“Selamat datang, Zefiroz.” Sebuah suara serak dan berat menyambutnya. Bobby mengharapkan melihat Raja Zora akan menyambut kedatangannya tetapi dia salah. Saat dia berbalik, dia menemukan Zorga, pamannya, berdiri menatapnya penuh kebencian.
“Di mana ayahanda Raja Zora?” tanya Bobby tegas namun tenang. Tidak terdengar sedikit pun nada marah atau kepanikan di dalam suaranya. Dia cukup tenang dan tetap berwibawa.
“Aaa… Kau pemain watak yang hebat. Hidup dengan manusia tanah rupanya membuatmu menjadi seorang yang licik,” jawab Zorga.
“Aku tidak mengerti maksudmu, Paman,” jawab Bobby, masih tetap tenang.