Semakin hari Bobby semakin lemah karena tidak henti-hentinya mencoba berbagai cara untuk bisa melewati lorong hampa. Pikirannya kini telah mati. Kebahagiaan telah direnggut darinya karena tidak dapat lagi berkomunikasi dengan keluarganya. Bahkan makanannya sudah sering kali tak tersentuh.
Sudah hampir tiga bulan Bobby terkurung di tempat membosankan ini. Lorong itu telah melumpuhkan setiap Taifun yang mencoba mendekatinya, persis seperti yang pernah Bobby dengar tentang lorong jahanam itu.
Bobby mendengar dari si pengantar makanan bahwa selama tiga bulan Bobby di sini, sudah ada lebih dari 20 rakyat yang dilumpuhkan di lorong hampa, karena bersikeras melewati lorong itu untuk menyelamatkan Bobby.
Malam keseratus Bobby mendekam di penjara, saat dia sedang berbaring tenang di batu dingin tempatnya duduk, makan dan tidur, Bobby mendengar suara langkah kaki lemah di lorong. Dia segera bangkit untuk melihat siapa yang datang, karena jam makan malam telah lewat, dan sangat tidak mungkin ada orang lain mendatanginya selain si pengantar makanan.
Saat Bobby melangkah perlahan mendekati lorong, sesuatu terlempar ke kakinya dari sudut lorong. Bobby segera mengejar pelakunya, tetapi baru beberapa langkah memasuki lorong nafasnya mulai tersengal. Bobby memaksa dirinya untuk terus mengejar. Namun belum genap 100 langkah, kakinya terasa lumpuh. Dia jatuh terduduk.
Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, Bobby berusaha mendorong dirinya untuk kembali ke ruang tahanan. Tepat di pintu tahanan, Bobby melihat kilau sesuatu di tempat benda keras menjatuhi kakinya tadi dan dari kilaunya dia seketika tahu itu benda apa. Kalung Tanaya. Seseorang telah melempar kalung cahaya yang dirampas Zorga sebelum Bobby dijebloskan ke dalam tahanan.
Bobby berusaha merayap dengan sisa-sisa kekuatan yang dia miliki, berusaha mendekati kalung itu.
“Sedikit lagi. Ayolah,” desisnya lemah.
Usaha yang sangat keras Bobby butuh kan hanya untuk menjangkau kalung yang berada lima puluh centimeter darinya. Satu tangannya terjulur, berusaha menggapai kalung itu. Begitu berhasil menggenggam liontin kalung itu, tubuh Bobby ambruk ke tanah, tidak lagi memiliki sisa tenaga. Cahaya yang membutakan dan rasa hangat menjalar dari telapak tangannya yang menggenggam liontin.
“Zefiroz! Zefiroz kau menerima pesanku. Aku tahu kau menerima pesanku. Apa yang terjadi denganmu?!” suara panik menggema bagai gelegar guntur di ruang kecil yang kosong itu.
“Tanaya,” bisik Bobby lemah.
“Zefiroz! Ya, aku mendengarmu. Apa kau baik-baik saja?” Gadis itu bertanya panik.
“Tidak,” jawab Bobby singkat
“Letakkan kalung itu di lehermu, sekarang.”
“Untuk apa?”
“Jangan banyak bicara. Ikuti saja!” bentak Tanaya, seolah terdengar dari seluruh sudut ruangan.
Bobby berbalik terlentang, kemudian mengalungkan benda itu ke lehernya dengan susah payah. Begitu liontinnya menempel di dadanya, pendar cahayanya meredup. Bobby segera menggenggamnya kembali, memastikan agar tidak kehilangan cahaya yang sangat dirindukannya.
“Tempelkan liontinnya di dadamu, Zefiroz,” ucap Tanaya lebih tenang.
“Tetapi cahayanya meredup, Tanaya. Aku tidak ingin…”
“Karena pendar cahayanya akan masuk ke tubuhmu dan memulihkan kekuatanmu,” potong Tanaya kembali dengan suara galaknya.
Bobby tidak sanggup membantah. Dia merasa tubuhnya semakin melemah karena berbicara terlalu banyak dengan sisa tenaganya. Dia meletakkan kalung itu ke dadanya, di balik bajunya, kemudian memejamkan mata. Sunyi. Kesunyian ini seakan membawanya ke tidur lelap yang tak berujung.