Anak Angin di Penjara Bawah Tanah

Kandil Sukma Ayu
Chapter #11

#11 PENYUSUP

Mereka tiba di sebuah lapangan luas yang dikelilingi hutan. Perjalanan itu membuat Henry mual. Rowle membawanya masuk ke lingkaran badai dan mereka berada di dalamnya selama beberapa jam. Mereka memang berdiri tegak dan tidak goyah, tetapi lingkaran yang berputar di sekeliling Henry membuatnya mual dan pusing. Henry menyesal sarapan terlalu banyak pagi ini.

“Ini Gerbang Kerajaan Angin. Aku tidak bisa menemanimu lebih jauh, karena jika kau terlihat datang bersamaku, kau akan dicurigai. Kau harus memulai segalanya sendirian dari sini. Bertindaklah biasa, jangan mencurigakan. Nalurimu akan menuntunmu,” jelas laki-laki itu, begitu lingkaran badai menghilang dan mereka berdiri di atas tanah.

Henry melihat jauh ke depan dan menemukan kabut putih tebal terhampar luas sepanjang matanya memandang.

“Bagaimana caraku pergi ke sana?” tanyanya.

“Kau hanya perlu menembus kabut itu. Di sini lah kau harus menghidupkan darah Taifun yang mengalir di tubuhmu. Gunakan kekuatan Bobby yang mengalir di dalam darahmu untuk melewati badai itu. Kau mungkin akan sedikit terombang-ambing, tetapi yakinkanlah dirimu bahwa di dalam tubuhmu mengalir darah Taifun. Kau harus benar-benar yakin kau mampu mengendalikan angin karena kau memiliki darah yang sama dengan Bobby, atau kau akan kalah oleh badai itu. Ini membutuhkan usaha yang tidak mudah, Nak. Angin akan berkesiur kencang saat kau mendekat dan kabut di sekelilingmu akan berubah menjadi hitam. Tapi teruslah berjalan. Jangan kembali sampai kau melewatinya. Kau akan merasa berputar sejenak di dalam badai, tetapi kau akan keluar di sisi lain dengan selamat. Darah Suku Angin tercampur dalam darahmu. Gerbang Suku Angin tidak akan melemparmu keluar, aku yakin,” jelas Rowle.

Henry mengangguk mengerti.

“Setelah memasuki Gerbang Kerajaan Angin, berjalanlah terus ke utara sampai kau menemukan sungai emas. Ikuti arah aliran sungai emas. Tidak jauh setelah kau berjalan menyusurinya, badai akan mulai menyerang lagi. Itu batas terluar istana angin. Kabut kali ini dibuat untuk menghalau suku Taifun, menghalangi mereka mendekat. Kembalilah menjadi dirimu sendiri untuk bisa melewatinya. Itu hanya akan menjadi kabut biasa bagimu, bukan apa-apa. Tetapi kau harus sangat berhati-hati. Pengawal kerajaan berkeliaran di mana-mana.” Laki-laki itu memperingatkan. 

Henry mengangguk sekali lagi, memberi tanda bahwa dia sangat paham risiko yang harus dia hadapi.

“Baiklah. Jika kabut itu telah berhasil kau lewati, kau akan bisa melihat Istana Angin. Istananya menjulang tinggi dengan lima menara. Menyelinaplah menuju menara paling barat dan turunlah melalui lubang yang berada di tembok. Gunakan kekuatan Terranimu untuk membuka gerbang dan menembus lorong menuju penjara bawah tanah. Ingat, hilangkan pikiranmu bahwa kau berasal dari Suku Angin. Matikan kekuatan yang Bobby berikan di dalam aliran darahmu. Kembalilah menjadi dirimu sendiri dengan baik, setibanya kau di gerbang menuju bawah tanah. Ingatlah baik-baik, karena perubahan ini sangat lah penting untuk keselamatanmu dan keberhasilan kita. Lorong menuju ruang tahanan Bobby akan dipenuhi kekuatan yang akan melumpuhkan siapa pun yang berasal dari Suku Taifun, yang berani mendekat ke ruang bawah tanah. Tapi karena kau bukan Suku Taifun, kekuatan itu tidak akan pernah mempengaruhimu. Kekuatan itu hanya mempengaruhi kami. Karenanya kau harus ingat baik-baik, matikan hubungan darah Suku Taifun yang mengalir di tubuhmu. Ingat! Ini sangat lah penting demi keselamatanmu, dan semua ini sangat-sangat tidak mudah.” Laki-laki itu mencengkeram pundak Henry, memperingatkan betapa berbahayanya perjalanan yang harus dia lakukan.

“Aku ingat, Paman. Aku akan berhati-hati dan tidak ceroboh.” Henry meyakinkan.

“Baiklah, Nak. Aku percaya padamu. Temukan kakakmu dan katakan padanya untuk menemuiku. Dia tahu ke mana harus pergi. Dan ingatlah selalu, perjalanan ini tidak mudah. Kau harus bersungguh-sungguh.” 

Sekali lagi Henry mengangguk meyakinkan.

“Aku akan berjaga di belakang sampai kau mampu melewati gerbang kabut. Jika kau merasa tidak mampu, kembalilah jangan dipaksakan.”Akhirnya laki-laki itu melepas Henry untuk pergi. Henry mengangguk sekali lagi, berbalik dan mulai melangkah berpisah dari pengawalnya. 

Mendekati kabut, kabut itu menjadi semakin pekat. Kesiur angin kencang mulai menerpa, tetapi Henry sudah terbiasa dengan badai kecil. Sejak balita dia sudah sering terkena semburan badai Bobby saat lepas kendali. Lebih terbiasa lagi saat Bobby sudah mampu mengendalikan kekuatannya, tetapi masih terlalu kecil untuk bersikap bijaksana sehingga dia senang sekali membuat keributan dengan tingkah jahilnya.

Henry terus mendekati kabut pekat yang semakin gelap. Angin menerbangkan baju aneh pemberian laki-laki yang menjemputnya. Henry merasa seperti tidak memakai baju, karena saking tipis dan ringannya baju yang dia kenakan. Berkali-kali dia menunduk, memastikan seluruh bagian tubuhnya tertutup sempurna.

Beberapa langkah mendekati kabut, Henry mulai terseok oleh terpaan angin. Dia berhenti sejenak untuk fokus. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa dia tidak sedang melangkah ke dalam badai, melainkan melewati sebuah pintu gerbang tinggi dengan pengamanan canggih.

Henry menarik nafas panjang, memejamkan mata dan mencoba merasakan aliran darah yang mengalir di tubuhnya. Bukan perkara mudah. Henry harus mengulanginya berkali-kali hingga perlahan dia mulai bisa merasakan darahnya mengalir di setiap tarikan nafasnya. Kemudian ia membayangkan keping-keping darah emas bertebaran di dalam aliran darahnya, ikut mengalir di setiap urat nadinya. Tubuhnya perlahan mulai menghangat. Henry mencoba mengulanginya beberapa kali, hingga dia yakin bahwa dia mampu melewatinya. 

Perlahan Henry melangkah memasuki kabut hitam dan badai. Tubuhnya terlempar ke kanan dan kiri tetapi dia tetap berdiri. Dia terus melangkah dan terus fokus pada usahanya mengalirkan butiran-butiran emas di dalam nadinya. 

Henry hampir saja berteriak saat tubuhnya terlempar terbalik, kemudian terbalik lagi ke posisi semula dan kakinya menjejak tanah.

Henry menghembuskan nafas lega, saat pemandangan hutan belantara yang berbeda menyambutnya. Dia berhasil. Matanya menjelajah sekitarnya dengan tegang, pikirannya berkecamuk.  

Pepohonan di sini luar biasa besar. Mungkin karena manusia angin tidak bisa memotongnya seperti kata Bobby dan laki-laki tua tadi, sehingga pohon ini terus tumbuh hingga berusia ribuan tahun, pikir Henry sambil mengawasi sekeliling. Perasaan tegang sedikit demi sedikit menghilang, berubah menjadi waspada.

Henry mulai melangkah ke arah barat. Kegelapan mulai menelan, tetapi Henry tidak berani menyalakan cahaya. Dia takut menimbulkan kecurigaan. Dia tidak yakin suku ini bisa membuat senter. 

Henry terus berjalan dalam gelap, menyusuri hutan, membelah semak perlahan. Telinganya terpasang tajam, mendengarkan apabila ada suara-suara yang mendekat. Dia berusaha terus berjalan meski kakinya mulai lelah. 

Setengah jam kemudian, ketika Henry sudah hampir putus asa, dilihatnya cahaya cemerlang sejauh 100 meter di depannya. 

“Sungai emas?” bisiknya, bertanya-tanya sendiri. 

Henry berjalan lebih cepat mendekati arah cahaya. Benar, sebuah anak sungai meliuk indah membelah hutan, cahayanya seperti ribuan kunang-kunang dalam gelap. Sungai itu dialiri air yang berkilauan seperti butiran pasir emas. Henry ingin memasukkan tangannya untuk melihat apakah itu air atau butiran pasir, tetapi dia takut terjadi sesuatu yang tidak dia inginkan. Jadi dia hanya menatap aliran sungai itu selama beberapa menit, kemudian berjalan menyusuri tepinya.

Seperti yang telah dikatakan laki-laki yang menemaninya tadi, badai mulai menyerang setelah dua kilometer Henry menyusuri anak sungai emas. Henry menunduk rapat saat angin kencang menerpa wajah dan tubuhnya. Dalam beberapa menit, dia mulai terombang-ambing oleh angin yang berputar semakin kencang di sekelilingnya. Kabut hitam pekat mulai turun dan menghalangi pandangannya. Henry berusaha terus berjalan, menganggap bahwa embusan angin kencang itu hanya lah badai ringan.

Gagal. Angin semakin kencang menerpa, membuat Henry terpaksa berhenti. Dia mengingat saat-saat diterbangkan oleh kakaknya di pesisir pantai, saat-saat mengambil buah-buahan di hutan, menakut-nakuti monyet dan melihat sarang burung. Dia mencoba dan terus mencoba meyakinkan dirinya bahwa dia bisa melewati ini, bahwa dia sedang bermain-main dengan kakaknya. Masih gagal! Dia semakin terseok-seok di tempatnya berdiri.

Henry terlempar dan menabrak sebatang pohon. Dia menggunakannya untuk berpegangan, dan berusaha mengingat kembali pesan laki-laki tadi.

Jadilah dirimu sendiri... 

Benar. Henry ingat seketika. Laki-laki itu mengatakan, ini adalah badai yang digunakan untuk menghalau Suku Angin yang berusaha menerobos Istana. Maka dia harus menjadi dirinya sendiri, memutus hubungannya dengan Suku Angin. 

Henry mulai memejamkan mata, berusaha menjadi dirinya sendiri, melupakan hubungan pertalian dengan kakaknya. Tangan Henry terkepal kencang saat pikirannya dipaksa untuk membayangkan kabut pekat ini hanya lah kabut dingin di dunianya selama ini. 

Perlahan, dengan keringat bercucuran dan telah terombang-ambing hampir satu jam di dalam pusara angin, akhirnya badai itu pun berhenti mengamuk. Sungai emas kembali tampak bercahaya meskipun redup tertutup kabut tipis. 

Henry mendekat, tidak terjadi apa pun. Kemudian dia menyusuri sungai itu hingga terlihat olehnya di kejauhan, sebuah Istana menjulang megah dengan lima menara tinggi. 

Henry menyeberangi jembatan sungai emas, menyelinap dan mengendap-endap diantara pepohonan, menuju menara sebelah barat. Menara itu sepertinya menara tertinggi dan terbesar dari keempatnya. Mungkin itu adalah bangunan utamanya.

Henry terus mendekat dan langkahnya terhenti oleh dinding kokoh yang menjulang tinggi, menghalangi dirinya dan seluruh pandangannya dari istana.

“Bagaimana aku melewati dinding ini,” bisik Henry lagi. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri di sepanjang dinding tinggi yang melingkar melingkupi istana.

“Hey!” seseorang menepuk pundak Henry dari belakang. Henry melonjak kaget dan siap meninju siapa pun yang akan menyerangnya.

“Apa kau juga akan menyelinap?” tanya seorang remaja laki-laki tinggi kurus, kecil, berambut hitam sebahu. Wajahnya ramah bersahabat.

Henry membeku di tempatnya.

“Jangan khawatir, aku juga ingin menyelinap. Aku dari Gis Batu Hitam. Kau?” bisik anak laki-laki itu, matanya waspada mengawasi sekitarnya.

“Aku, aku Gis Dagang,” jawab Henry pelan. Dia ingat kakaknya pernah bercerita tentang Gis Dagang waktu dia masih berusia enam tahun, bahwa tempat itu adalah pusat pasar, mall dan toko yang menjual segala macam. Henry hanya berharap dia tidak salah mengingat namanya.

“Hey, itu tempat kelahiranku. Aku tinggal di Gis itu sampai usia dua belas tahun. Bagaimana kita bisa tidak saling mengenal. Siapa orang tuamu?” tanya anak itu bersemangat.

Sial pikir Henry dalam hati.

“Aku, aku, maksudku orang tuaku, kami pendatang baru,” jawab Henry terbata-bata.

“Oh, pantas saja. Pangeran pernah mengunjungi Gis Dagang saat usianya sepuluh tahun. Dia pergi ke rumahku waktu itu. Aku ingat dia senang sekali saat berkeliling di Gis Dagang. Dia ingin membelikan sesuatu untuk adiknya di rumah, tetapi tidak memiliki mata uang kita,” bisik laki-laki bertubuh kecil itu bersemangat.

Lihat selengkapnya