Anak Angin di Penjara Bawah Tanah

Kandil Sukma Ayu
Chapter #12

#12 TAHANAN KABUR

“Bobby... Bobby…!” bisik Henry melalui lubang kucing yang di intipnya. Kakaknya menoleh, namun seakan dia berpikir hanya membayangkan suara saudara laki-lakinya. Dia mengerjapkan mata, menutup wajahnya dan memukul tembok di sisinya. 

“Bobby... Bobby... ini aku Henry, Kak. Lihatlah ke bawah. Di lubang kucing.” Henry mengulangi.

Bobby segera menoleh dan menemukan sepasang mata yang sangat dikenalnya. Setengah tak percaya, Bobby melangkah menuju ke pintu dan menunduk memandang sepasang mata yang sangat dirindukannya.

“Henry??? Kau kah itu? bagaimana kau bisa ke sini?” Bobby bertanya kaget. 

“Orang yang menjemputmu memberitahu kami di rumah dan memberitahuku caranya untuk bisa menolongmu.” 

“Tapi bagaimana...?” 

“Sudahlah nanti saja penasarannya. Yang penting aku harus mengeluarkanmu dulu dari sini,” sela Henry.

“Tapi aku kehilangan kekuatanku. Kekuatanku di ikat dengan adanya ruang kosong ini, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa,” keluh Bobby menyesal.

“Tenanglah Kak. Kau ingat saat kau mengangkatku ke atas pohon untuk menakut-nakuti monyet kan? Sekarang bersiaplah, aku bisa melakukannya. Ada lubang angin di atas yang cukup besar untuk tubuhmu.” 

“Tapi… tapi…” 

“Aku bisa menjadi sepertimu. Sekarang diamlah.” 

Henry mulai berkonsentrasi, kembali meyakinkan dirinya bahwa ia keturunan Suku Angin. Berubah menjadi suku angin kini leboh mudah dia lakukan setelah melakukannya beberapa kali di sepanjang peralanan. Dia tinggal membayangkan aliran darah itu mengalir dari jantungnya, melewati nadi dan seluruh pembuluh darah di dalam tubuhnya. 

Rasa panas di sekelilingnya mulai menjalar menggantikan kehangatan di dalam tubuhnya, tapi Henry mengabaikannya. Dia mulai merasa tercekik dan tubuhnya perlahan melemas. Keringat dingin bisa dia rasakan mulai mengucur di seluruh tubuh dan kepalanya.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Bobby cemas, masih menunduk di lubang pintu. Henry dian tidak menjawab, terus berkonsentrasi.

Saat perlahan tubuhnya mulai terangkat, Bobby seketika tahu apa yang sedang di lakukan Henry, walau dia tidak dapat mempercayainya.

“Stop! Stop! Berhenti. Jangan lakukan itu. Kau akan mati lemas kehabisan tenaga,” teriak Bobby panik.

“Tetapi aku harus mengeluarkanmu, Kak.” katanya tersengal. Wajahnya pucat dan mulai memerah.

“Berhenti aku bilang, bodoh. Pintu ini tidak di kunci!” pekik Bobby, menarik buka pintu dengan cepat. Begitu konsentrasi Henry terpecah, Bobby terjatuh dan kembali menapak lantai.

Bobby tidak yakin yang dia pikirkan benar, tetapi dia harus menghalangi Henry mengorbankan diri untuknya. Dia menarik Henry memasuki ruangan, menjauh dari ruang hampa.

Henry menarik nafas panjang, tersengal seperti habis berlari puluhan kilometer. "Sialan. Dasar bodoh. Kenapa kau tidak membukanya dari tadi," keluhnya terbatuk-batuk.

“Henry, bagaimana kau melakukannya?” tanya Bobby tercengang, tidak peduli pada umpatan-umpatan Henry. 

“Nanti saja, kita harus ke rumah orang yang menjemputmu. Dia bilang kau tahu harus pergi ke mana,” jawab Henry di antara nafasnya yang masih tidak beraturan.

“Apakah aku benar, bahwa aku mengira kau bisa mengubah dirimu menjadi Suku Taifun?” Bobby bertanya heran, mengabaikan apa pun yang dikatakan adiknya.

“Dan kau juga bisa. Kau bisa berubah menjadi sepertiku. Lakukan sekarang untuk melewati lorong ini. Ayo cepat. Aku tadi kesini bersama temanmu Aigo, dia menunggu di luar. Tetapi aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Jika dia tertangkap, maka dalam waktu sekejap akan datang orang untuk mengecekmu,” kata Henry cepat dan bersiap kembali ke lorong hampa.

“Tetapi aku tidak bisa melewatinya. Aku akan langsung lemas beberapa langkah saja memasukinya,” jawab Bobby, ngeri menatap ke dalam lorong.

“Kau bisa. Darah Mom mengalir di dalam tubuhmu. Bayangkan saja kau bukanlah seorang keturunan Suku Taifun. Kau putra Mom dan Dad. Lakukan sekarang!” perintah Henry. 

Bobby mengerut tidak mengerti.

“Kumohon, Kak. Kita harus cepat, sebelum ketahuan. Lakukan saja apa yang aku katakan, sebelum salah satu dari mereka tiba di sini.”

Tetapi Bobby masih menatap bingung. Dia mencoba melakukannya namun tidak bersungguh-sungguh.

Lihat selengkapnya