“Tenanglah. Ini aku. Kita harus pergi. Pasukan angin akan datang dalam hitungan detik.” Suara Evan terdengar, tepat saat Bobby akan melakukan perlawanan.
Bobby seketika menahan serangan yang siap diluncurkan.
“Evan,” bisiknya ragu-ragu.
“Cepat bawa adikmu dan dua tentara sialan itu. Ikuti aku.”
Saat kabut menipis, Bobby bisa melihat Evan berusaha mengikat dua temannya yang pingsan dan membawanya ke atas benda terbang lonjong seperti kapal selam.
“Cepat! Bantu aku,” perintahnya.
Tanpa menunggu, Bobby segera mengikat pengawal yang lain. Henry sudah mendekat di sisinya.
“Naik!” perintah Evan tegas.
Keduanya menaikkan pengawal yang terikat dan melompat naik ke atas benda terbang milik Evan. Benda itu segera melesat dengan kecepatan penuh.
“Kita harus ke rumah Rowle, Evan.”
“Tidak ke rumahnya. Aku tahu di mana mereka berada. Sebenarnya akulah yang bertugas berpatroli hari ini. Karena itu lah Rowle mengirim Henry untuk mencoba membebaskanmu. Tetapi kedua pasukan sialan itu berkeliaran di luar jam bertugas mereka,” jelas Evan, pandangannya terus fokus ke depan, meluncurkan benda terbang yang dikendarainya.
“Kau,” Bobby tidak bisa meneruskan kalimatnya.
“Aku, Xegon dan Goha berada di kubu mendiang Raja Zora. Kami ditugaskan untuk menjadi mata-mata di sekitar Istana. Aku harus berakting seperti tadi, karena Kohgun ada di sana. Dia pengawal pendukung Raja Zorga.”
“Kau, Xegon dan Goha? Tetapi mereka…”
“Ya. Kasihan mereka harus pingsan. Mereka terlalu lemah menahan kekuatanmu. Aku sudah tahu dari mana darah emasku aku dapatkan. Aku keturunan pertapa, di dalam darahku mengalir darah pertapa. Sayang sekali, kau tidak akan mudah mengalahkanku, Pangeran. Haha…” Evan tergelak sambil menjelaskan. Dia menepuk dadanya dengan penuh gaya.
“Oh, woow... Kita bisa mengadunya jika situasi sudah terkendali,” tantang Bobby.
“Tentu, Pangeran. Aku siap menerima tantanganmu kapan pun.”
Gelak tawa memenuhi seluruh kabin, membuat suasana tegang sedikit mencair. Mereka terbang menembus hutan gelap, menyelinap gesit di antara pepohonan raksasa.
Tiga puluh menit kemudian, mereka sampai di tengah hutan belantara dengan tebing-tebing batu menjulang tinggi. Benda terbang mengurangi kecepatan dan menyelinap ke balik tebing tertinggi. Di baliknya, terdapat air terjun tinggi dengan air berwarna biru laut dan eriak-riak, meluncur turun dengan deras.
“Whoaa... Indah sekali,” bisik Bobby.
“Lebih menakjubkan lagi jika kau melihat apa yang ada di baliknya,” jawab Evan.
“Apa?”
“Mari kita saksikan bersama.”
Evan bergerak menembus derasnya air terjun dan muncul di mulut gua raksasa. Gua itu sangat luas, dengan dinding-dinding cadas berlumut dan tetesan air dari tiap stalaktit yang menggantung di langit-langitnya. Benda terbang terus menerobos masuk dengan mudah, sesekali terkena tetesan air. Di ujung gua terdapat pondok megah seluas rumah Bobby di Terra.
“Ini luar biasa. Apa itu rumahnya?” tanya Bobby, ketika mereka mendekati siluet bangunan dengan tembok melingkar dan atap melengkung. Asap mengepul dari cerobong asap di sisi kanan. Evan memarkir benda terbangnya di samping rumah, kemudian ketiganya bergegas turun. Bobby kembali dibuat ternganga saat kakinya menapak pada petak-petak rerumputan dengan bunga-bunga kecil yang terawat rapi.
Tok tok tok…
“Siapa itu?” sahut suara berat dari dalam.
“Rohus,” “Zefiroz,” jawab Bobby dan Evan bersamaan.
“Pangeran Zefiroz,” suara dari dalam terdengar bersemangat.
“Apa itu Rohus?” tanya Bobby menatap Evan.
Evan mendengus kesal, “bukan apa, tapi siapa. Itu namaku. Nama pemberian ibu dan ayahku,” jawab Evan ketus.
Bobby dan Henry tertawa. “Maafkan aku,” gelak Bobby.
Sepertinya Evan ingin membantah, tetapi kalimatnya terhenti oleh suara langkah yang mendekat, kemudian pintu segera terbuka.
“Masuklah. Oh, ini luar biasa. Kalian berhasil menyelamatkannya. Bagus, Rohus.” sahut Rowle sambil memeluk ketiganya secara bergantian. Mereka segera masuk dan Rowle menutup pintu dan jendela.
Di dalam rumah itu tidak kosong. Beberapa orang yang sebelumnya duduk di kursi bundar melingkari meja panjang, seketika berdiri. Bobby bisa melihat Pengendali Sekolah di antaranya. Laki-laki tua itu tersenyum bangga.
“Kau berhasil. Kalian para laki-laki hebat. Dan kau, kau layak menjadi saudara seorang Pangeran,” ucap Pengendali Sekolah bangga, menepuk-nepuk pundak Henry.
“Salam, Tuan.” sapa Henry hormat. Laki-laki itu memeluknya.
“Panggil aku King. King master,” katanya.
“Halo, Zefiroz. Perkenalkan, akulah Pengendali Angin. Kita sudah sering berkomunikasi, tetapi baru hari ini bertemu. Senang akhirnya bisa menemuimu,” sapa seorang laki-laki tua, dengan wajah tampan berwibawa. Rambut panjangnya masih hitam legam, lurus berkilauan. Bajunya berwarna seperti air raksa di dalam tabung termometer. Jalannya seolah melayang, seperti sedang terbang.
“Senang akhirnya bisa melihatmu langsung, Pengendali Angin. Bagaimana aku memanggilmu?” tanya Bobby sopan, menyambut uluran tangannya. Genggamannya erat dan kuat, tetapi tangannya hangat dan lembut.
“Kau bisa memanggilku Anemon, atau King Taiga. Terserah kau saja.”
“Baiklah, King Taiga.”
Laki-laki lain mendekat, menjulurkan tangannya yang kurus. Dia bertubuh jangkung dan tampak sangat renta. Rambut putihnya sangat tipis.
“Aku Pengendali Cuaca. Kau bisa memanggilku King Taipu.” Dia memperkenalkan diri. Suaranya serak dan berat. Bobby menyambut uluran tangannya dan tersenyum lebar.
“Hormat, King Taipu.” salam Bobby sopan.