Di sebuah forum, seorang hadirin menggugatku dengan nada sangat keras dan geram.
Karena mendadak, aku sangat panik dan serasa ditimpa rasa bersalah yang mendalam.
“Di mana-mana di segala zaman, manusia itu kalau memohon kepada Tuhan, ya, rezeki, berkah, atau kebahagiaan. Kok Anda memohon kutukan! Bagaimana nalarnya?”
Aku yang memang seorang penakut jadi berkeringat dingin.
“Andaikan yang Anda mohon itu kutukan kepada diri Anda sendiri, tetap tidak masuk akal bagi saya. Apalagi, yang Anda lakukan ini menyangkut ratusan juta rakyat Indonesia yang hidupnya kebingungan tanpa ada ujung. Kita ini bangsa yang dahsyat. Sekarang menjadi konyol. Kita ini kumpulan manusia-manusia yang multitalenta. Tetapi, sekarang serabutan mengerjakan hal-hal yang bertukar-tukar keahlian. Kita kaya raya, tetapi jadi pengemis. Kita bermental tangguh, tetapi sekarang cengeng dan terlalu mudah kagum sehingga gampang dikendalikan oleh orang lain. Ini semua gara-gara Anda memohon kutukan. Dan sampai hari ini kita semua hidup remang-remang, bahkan gelap pekat, seperti terkurung di bawah kutukan langit ….”
Aku benar-benar merasa ambruk. Hatiku remuk redam. Aku berteriak-teriak, memekik-mekik, sampai telingaku kaget sendiri, sehingga terbangun mendadak. Terbangun, meloncat dari ranjang, posisi berdiri dengan kuda-kuda silat, seolah-olah aku pernah tahu apa-apa tentang silat.
***
Tentu saja aku tertawa geli menemukan diriku berdiri dengan posisi tidak jelas. Apakah aku ini epigon Bruce Lee, Jacky Chan, Jet Lee, Iko Uwais, atau Wak Sampan pendekar Brudu. Untung tak ada siapa pun ketika itu. Maka kutoyor kepalaku sendiri, kemudian aku berlari ke kamar kerja. Aku mencari puisi “Doa Mohon Kutukan”, tetapi ternyata tidak ada. Sungguh buruk dokumentasi hidupku. Aku pun tak terpikir untuk browsing karena di samping tidak terbiasa dengan dunia internet, aku tidak pernah punya naluri untuk menyangka bahwa di dunia maya itu ada puisiku.
Akhirnya, setelah kuhubungi, seorang teman menolong memberi teks puisi buatan 1994 yang terkutuk itu. Aku baca berulang-ulang sambil mengutuk diriku sendiri.