Anak Desa

Nicanser
Chapter #2

Lilin Baru

Perjanjian bersama temanku sirna begitu saja saat melihat mata sendu perempuan khas bangun tidur : dia Asa. Kami anak-anak golongan yang hidup tanpa arah, kami disatukan dalam satu rumah yang tak berpenghuni dan diam-diam pergi untuk menghidupi diri sendiri. Ayah kami seperti halnya buku yang berjudul Rusak saja buku ini karya Sony Adams. Namun bagi orang yang pencinta buku hanya menganggap itu hanya judul dan tak bermaksud untuk merusaknya, bagitu lah kami tak bermaksud untuk diterlantarkan tapi keadaan membuat kami seperti itu.

Kehidupanku seperti kriteria yang ditentukan dari metode Purposive sampling. Apabila jumlah yang dikurangi ada yang salah maka semua tabulasi yang dikerjakan harus diulang.

Belum lagi rumus dari pengerjaan, dan nilai yang harus dimasukan dalam grafik. Jika tidak mendapatkan hasil yang signifikan, aku harus memulai dari awal. Jadi jangan heran kalau aku selalu peduli pada ayah, menurut pada kakak perempuanku dan baik pada teman-temanku.

Saat berusaha melepaskan rindu pada Asa, gadis itu memberikanku sebuah bogem yang kuat sampai hidungku berdarah, mungkin itu sudah termasuk dari unek-uneknya. Hal itu biasa dari keluarga kami, alasannya karena jaga image, harga dirinya tinggi seperti impiannya menjadi karyawan proyek tambang yang ada di desa, padahal dia bisa saja menyapaku dengan pelukan hangat.

Rumah kami tempat untuk pulang kini berubah menjadi tempat ladang pekerjaan. Mereka menjual tanah dengan harga mahal untuk di tukar rupiah padahal uang itu tidak akan abadi. Maka dari itu Asa sangat marah dan memilih meninggalkan semua miliknya yang ada di kota demi kembali ke tempat asal muasalnya.

Ayah kami yang terkenal ikut judi online itu sudah memindahkan semua aset berharga untuk masa depanku kepada warga pendatang baru yang bermata sipit. Otomotis Asa tidak terima, ayah tidak bisa menggantinya karena sudah habis. Maka dari itu untuk membantuku sekolah lagi dia harus rela bekerja di perusahaan dan tinggal di mess untuk menjadi budak. Padahal pak presiden pertama sudah bela-belain membuat Indonesia maju tapi masyarakatnya lebih memilih kehidupan sekarang dan tidak memikirkan masa depan.

Dampak terhadap desa sudah terlihat, aku yang dulu sibuk sekolah di asrama, baru mengetahuinya sekarang. Gunung menjadi botak hingga membuat suhu bumi tidak beraturan, seperti panas yang kelebihan, dingin kelebihan, tidak hanya itu harga bahan makanan melonjak naik dan bahkan tidak menerima uang receh, sombong sekali. Jalanan berubah seperti gunung pasir yang ada di Mesir, berdebu sampai masuk ke rumah. Karena sudah mendapatkan resiko atas perbuatan mereka, penduduk disana meminta ganti rugi untuk jiwa-jiwa yang terkena akibatnya, dengan membayar 500k kepada salah seorang yang tinggal di desa. Aku pun yang mendengar itu jadi keluar dari asrama dan tinggal berdua bersama Asa, agar mendapatkan upeti dari pemerintah yang bekerja sama dengan orang-orang luar.

Semua masalah itu menumpuk di kepalaku apalagi di tambah dengan permintaan temanku yang diluar nalar. Aku ingin sekali menyampaikan amanat itu pada Asa tapi melihat perasaannya yang sedang membara membuatku mengurungkan niat.

"Hey kau! Matikan ponselmu dan pergi beli lilin sana!" tegasnya. Aku refleks berdiri dan membuang benda persegi itu di kasur. Saat di asrama semua fasilitas terasa sempurna tapi saat kembali kerumah tak terasa pemerintah mengambil alih hak kami, bukan dari tempat tinggal tapi penglihatan juga.

Aku bergegas mengambil hoodie ku dan berjalan menyusuri lorong rumah yang tampak gelap. Aku menyesali tidak membawa benda teknologi itu sebagai indra keduaku, alhasil hanya modal lampu lentera rumah tetangga membuat ku sampai ke jalan raya, di sana tidak hanya ada penjual toko, atau kios tapi sangat ramai orang nongkrong termasuk teman sekolahku.

"Hey Issa! Kapan kau kembali ke sekolah! Semua orang mencari mu!" teriak Atta. Dia duduk di atas motor sambil mengepulkan asap rokoknya.

Beberapa tim sepak bola yang kuhindari juga malah ada di samping Ata sambil bermain kartu, mereka pun ikut menoleh saat mendengar namaku di sebut.

"Kurang tau, aku banyak urusan di rumah," jawabku sambil merampas rokok yang ada di tangan Ata. Aku seperti mendapatkan barang berharga setelah puasa tidak memakai barang itu selama ada Asa di rumah.

"Sudah tidak menepati janji sekarang malah seperti pencuri," ledek Rohan, ketua dari perkumpulan mereka. Dia beranjak dari kursinya dan segera menarik kerak belakang hodieku sampai tudungku jatuh.

"Sabar lah, kalau mau kita berangkat sekarang. Tapi aku harus beli lilin."

Lihat selengkapnya