Aku yang terbiasa bangun kesiangan di asrama dan telat masuk kelas kini akhirnya menerima akibatnya. Asa pagi-pagi sudah menghilang dari pandangan meninggalkan pesan di ponselku yang mengatakan ada makanan dibalik tudung saji. Aku tidak sempat memakannya dan buru-buru berangkat ke sekolah, jalan yang sering aku liat di depan asrama tampak mulus-mulus saja kini tergantikan dengan banyaknya kendaraan yang mepet sampai aku tidak bisa melewatinya. Tidak lupa asap knalpot yang melambung tinggi sampai terlihat mirip awam mendung.
Saat merasa benar-benar sial dan tidak punya jalan lagi, Ata menarikku berteduh di kedai buah. "Kau gak panas? Kalau keringat di kelas, entar kau di ledekin," ujarnya santai sambil merapikan kerak baju putihnya.
Aku sedikit merasa iba padanya, ternyata hidup di luar asrama jauh lebih mengerikan. Ata tidak memiliki uang lebih untuk tinggal di asrama sekolah karena fasilitas yang lengkap membuat dia harus mengeluarkan banyak uang, dan ternyata karena berteman dengannya aku juga arus mendapatkan hal serupa.
"Jangan dekat-dekat, nanti sial mu nular."
Laki-laki dengan kaus kaki tinggi sebelah itu langsung membungkam mulutku dengan buah jeruk dari kedai yang ternyata milik ibunya. Terbukti saat melihat Paruh baya yang ada dibelakangnya, mencolek perut anak laki-lakinya itu yang bersifat kurang ajar padaku.
"Kau mau berlama-lama disini? Mending kita jalan-jalan dulu." Setelah mengatakan itu dia berpamitan pada wanita tadi.
Aku setuju saja daripada harus menunggu kendaraan itu antri berjam-jam.
Kami berdua melewati gang sempit, dan atap rumah dari warga desa. Ata sangat lihai memanjat mungkin karena terbiasa melakukan kegiatan itu setiap hari, dia bahkan terus menungguku yang selalu ketinggalan di belakang. Saat memanjat pun aku sesekali tergelincir karena menginjak lumut. Dulu yang aku tahu itu rumah pak de yang sering membawakan ayahku ikan hasil pancingannya tapi semenjak orang-orang bermata sipit datang dia tidak lagi memperlihatkan batang hidupnya, rumahnya terlihat tua dan tidak terurus, rumput liar mulai menguasai terasnya, dinding rumahnya mulai berlumut, aku tidak tahu kabarnya lagi dia seperti hilang bersama ayahku.
Hingga kami sampai di atap rumah pak de setelah berhasil memanjat, atapnya banyak yang bolong mungkin itu perbuatan Ata yang sering ke sana. Aku berusaha menghindar dan memegang tembok rumah tinggi yang ada di samping rumah pak de.
"Tunduk!" bisik Ata, dia berjongkok di samping penghalang tembok yang tinggi.
Aku menuruti perkataannya dan berusaha berhati-hati untuk memilih jalan agar bisa duduk di sampingnya.
"Kau lihat sana? Sepertinya mereka berkelahi."
Mataku memicing, memerhatikan ada tiga orang laki-laki yang aku tidak ku kenal sedang beradu mulut, aku tidak tahu mereka membahas apa tapi yang pasti mereka masih menggunakan bahasa Indonesia dengan jelas.