Mendengar suara yang semakin ramai, membuat kami berdua segera keluar. Warga sekitar berlarian sambil membawa obor, aku dan Asa jadi ikutan panik. Kami ikut berlari walaupun tidak tahu berita Tsunami itu benar adanya atau tidak, tapi kalau di pikir kembali desa kami berhadapan dengan laut jadi wajar saja mereka memberikan informasi seperti itu.
Dengan keadaan lampu yang belum menyala, dan langit yang menggelap membuat suasana benar-benar riuh, semua orang panik di tambah gempa belum juga surut. Beberapa warga ada yang mengumpat perihal datangnya orang-orang luar hingga mendatangkan petaka, ada juga yang menangis tak berhenti. Kepala desa lama yang bernama pak Suardi mengarahkan kami di pertigaan jalan menuju gunung. Asa mendengar dengan seksama tapi aku tidak fokus saat Rohan menepuk bahuku dengan napas memburu.
"Ata! Mamak dia meninggal barusan, kasian dia gak ikut aku, dia mau nemaniin mayat mamak dia di rumah."
Innalilahi wa innailaihi rojian, di saat-saat gempar seperti itu, Ata kena musibah lagi. Padahal barusan kami mengobrol di teras rumahku. Aku yakin dia tidak bisa pergi bersama kami karena betisnya yang luka.
Perhatianku penuh pada Ata, aku berlari meninggalkan kerumunan. Aku bukan tidak peduli pada Asa, aku yakin dia lebih kuat dari Ata sekarang dan bisa menolong dirinya sendiri kalau pergi bersama rombongan yang sudah diarahkan oleh pak Desa.
Dengan sekuat tenaga aku berlari, tak peduli aku yang lupa memakai sendal, kakiku tidak merasakan sakit, padahal jelas-jelas aku sering tersandung batu dan menginjak batu krikil.
Setelah sampai di rumah kayu, aku menemukan Ata duduk di samping papanya. Tidak lupa mamaknya yang terbaring di selimuti kain putih dari atas sampai bawah.
"Ata!"
Lelaki itu berbalik kaget, melihat kedatanganku yang mendadak.
"Kenapa kau kemari?!"
"Pergilah nak ikut dia, biar papa yang temani mamakmu," lanjut laki-laki paruh bayah dengan mata yang berkaca-kaca. Dia menatapku sambil mengangguk. Aku mengerti tatapannya yang menginginkan anaknya ikut selamat. Tanpa aba-aba aku menarik Ata ke pundakku dan segera berlari ke tempat kepala desa berada.
"Kenapa kau ajak aku, Sa?! Kasian mamak!" teriaknya frustasi di tengah maratonnya larikku.