Anak Desa

Nicanser
Chapter #6

Puskesmas

Saat tidak merasakan gempa lagi. Aku, Asa dan Ata memutuskan untuk turun ke desa, sedangkan beberapa penduduk lainnya memilih menetap disana dua atau sampai tiga hari untuk memastikan tidak ada gempa susulan lainnya.

Ata bertemu ayahnya di pemakaman dibantu ustadz dan orang-orang desa lainnya untuk memakamkan mamaknya. Begitu pun Aku dan Asa kembali ke rumah. Asa masih meluangkan waktunya untuk melanjutkan makannya yang sempat ia masak semalam dan aku merebahkan badanku di atas kasur, rasanya aneh sekali mengingat kejadian semalam.

"Issa! Coba liat di tv!" teriak Asa dari luar kamar. Aku masih mencerna kalimatnya, yang kutahu listrik belum menyala tapi bagaimana bisa tv kembali berfungsi?

"Issa! Keluar sebentar!" Aku bangkit dari kasur malas menuju sumber suara, saat sampai di ruang tengah, di sana ada Asa yang terdiam mematung menatap layar lebar yang menampilkan berita yang terjadi di kota palu_sulawesi tengah.

Kota itu adalah tempat tinggal Asa saat aku masih di asrama. Allah maha mengetahui segalanya, dia memberikan sebuah masalah karena tahu musibah akan datang menghampiri Asa. Begitu pun dengan para pembunuh sadis itu, yang kemarin sedang di cari tapi berhasil di temukan saat pendudukan desa mengatakan akan Tsunami.

Terdengar tangisan yang menggema dari luar, aku dan gadis bertindik itu keluar mendapati beberapa warga menangis di jalanan sambil memanggil anaknya.

"Ada apa dengan mereka?" ujarku kebingungan.

"Apa lagi kalau bukan mengingat anak mereka yang tinggal di kota," lanjut Asa dan kembali kedalam rumah.

Aku merenung sesaat, bagaimana dengan aku? Mungkin kalau Asa belum pulang, aku juga akan sehisteris seperti mereka.

Hari itu sekolah diliburkan dan menjadi hari peringatan kematian orang - orang yang mereka sayangi termasuk mamak Ata. Aku berpamitan kepada Asa akan menemui temanku itu setelah berganti pakaian dan makan. Asa menyetujuinya, Karena dia juga akan pergi melihat situasi di markas perusahaan.

Selama perjalanan menuju gang rumah Ata, warga disana terlihat bersedih di depan rumah, keluarga mereka juga ikut menemani dan berusaha untuk membuat keluarga mereka tenang. Aku yang tidak memiliki keluarga lengkap tidak tahu harus merespon apa. Aku tidak bisa lagi bersedih mungkin karena terbiasa dengan luka yang Selami ini aku alami.

Setelah sampai di rumah kayu milik Ata. Disana penduduk memakai pakaian putih sedang mengaji. Aku memberi salam dan menanyakan keberadaan laki-laki itu. Papanya mengatakan kalau dia ada di puskesmas untuk mengobati lukanya.

Aku sebenarnya ingin menunggu tapi papa Ata ingin aku menemaninya disana. Aku pun mengiyakan. Aku meminjam motor tetangga yang bernama pak Harto untuk kesana.

Selama perjalanan menuju puskesmas aku melihat banyak warga berdiri di satu tempat. Aku memelankan kendaraan sepeda motor butut itu untuk sekedar mencari informasi.

Lihat selengkapnya