Kami bergegas pergi ke puskestu setelah mendapatkan kabar dari Ratno. Disana dia terus menangis dengan mata yang terus tertutup. Aku tidak sanggup melihat, aku memilih duduk di teras menunggu ketiganya yang berada di dalam ruangan bersama bidan desa.
"Dasar penakut," ledek Asa mendatangiku.
"Kau juga penakut," balasku menyindir. Gadis itu duduk di sampingku sambil memberikan cemilan.
"Beli di mana?" Aku menanyakannya karena makanan itu enak sekaligus kalau habis aku bisa membelinya kembali.
Asa menunjuk pake dagunya di sebrang jalan, disana ada penjual makanan yang terlihat sepi.
"Serius? Kayak gak buka aja." Aku kembali menoleh pada Asa yang masih sibuk mengunyah, setelah menelan habis barulah dia menatapku.
"Banyak pedagang kaki lima yang rela pindah kemari demi mendapatkan uang, mereka pikir dengan adanya perusahaan dagangan mereka akan laris? Tidak, selain bersaing dengan pedagang lain mereka juga bersaing dengan uang masyarakat. Semakin tinggi gaji mereka di perusahaan semakin tinggi juga bayaran mereka untuk kebutuhan hidup, seperti membangun tempat tinggal yang lebih besar, membayar utang yang lalu dan membayar cicilan kendaraan. Sedangkan untuk makan dan pengobatan? Banyak yang masih krisis."
Aku berpikir sejenak lalu kembali menatap Asa. "Tapi kan, seiring berjalannya waktu, uang itu akan ditabung, semuanya akan terlunaskan dan uang mereka kembali normal."
"Kebutuhan manusia itu tidak ada batasnya, mereka akan terus berkembang sesuai standar masyarakat yang tidak pernah puas, selalu saja mengikuti orang yang lebih dari mereka, semuanya bersaing, dan tidak mau ketinggalan." Makanan itu habis. Asa berdiri dan membuang bungkusannya di tong sampah.
"Kalau begitu yang kaya akan tetap kaya dong dan yang miskin akan tetap miskin?"
Gadis itu mengangkat bahunya yang pertanda ketidak tahuannya.
Aku kembali teringat cerita teman-teman yang lain saat di lapangan sepak bola, salah satunya menceritakan bahwa penjual di samping rumahnya tidak ramai pengunjung. Seminggu disana mereka memutuskan untuk pergi. Padahal kalau dipikir kembali mereka menjual di bagian pinggir jalan raya yang terbilang ramai tapi tetap saja tidak ada yang tertarik dan mungkin semuanya tergantung rezeki masing-masing.
Ketiga temanku keluar. Aku berdiri menyambut mereka. "Jadi bagaimana?"
"Fasilitas disini kurang lengkap katanya harus di bawa di puskesmas, Sa kau pulang aja ya, Ata mau bantu pegang Ratno bonceng di belakang," ujar Rohan, aku mengangguk setuju.
Ketiganya pun naik motor dengan Rohan sebagai penyetir, dan Ratno di tengah sedangkan Ata di belakang. Setelah kendaraan mereka cukup jauh. Asa keluar dari ruangannya dan kini membawa tas gandengnya yang berwarna hitam.