"Harusnya aku yang bilang begitu," ujarnya setelah itu ia berlari meninggalkanku di bawah rembulan. Kejadian malam itu membuatku terasa lebih asing.
"Ngelamun apa, sih? Dari tadi namamu di absen, nyaut kek," bisik Galih menyadarkanku dari ingatan semalam.
"Muhammad Issanarayan," ulang wanita yang ada di depan papan tulis. Sambil memandangku bersama kacamata bulat kecilnya yang bertengger di hidung.
Aku memperbaiki dudukku dan mulai mengangkat tangan. "Hadir Bu."
Wanita itu terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya lalu melanjutkan absennya.
Setelah melewati namaku, Galih kembali berbalik."Kan udah di bilang tadi, kalau absen bilangnya 现在的女士 (Xiànzài de nǚshì)."
Aku menggaruk kepalaku bingung dengan apa yang ia bicarakan. "Ngomong apa, sih?"
Galih mengembuskan napas pasrah. "Mengayal teros, ingat gak kalau sekarang pelajaran bahasa Mandarin? Kan mata pelajaran udah di pasang di mading."
Aku kembali teringat kemarin saat melewati mading. Ternyata pelajaran itu sudah di mulai sekarang.
"O-oh, jadi artinya apa?"
"Artinya Hadir Bu, fokus!" tekannya dan kembali menghadap ke papan tulis.
Selama pelajaran berlangsung kepalaku dibuat berputar-putar. Ternyata pelajaran bahasa sesulit itu pantas saja Mao sampai datang ke rumahku karna sulit dengan bahasa Indonesia ternyata kami orang lokal pun sama dengannya_tidak mengerti bahasanya.
你Nǐ (Kamu)
我Wǒ (Saya)
是Shì (Adalah)
学生Xuéshēng (Murid)
"Coba Issa sambung katanya menjadi kalimat yang benar," ujar wanita tua itu dengan bahasa Indonesia yang kurang fasih.
Aku berdiri dengan perasaan gugup dan mulai membaca bahasa itu yang tertulis di papan.
"Ni s-si ziiieseng." Semua orang tertawa mendengar ucapanku.
"Mingmei," ucapnya beralih pada gadis yang duduk di pinggir pintu.
"Wǒ Shì Xuéshēng," ucapnya dengan lantang.
Semua orang bertepuk tangan mendengarnya membacakan kalimat itu dengan benar dan lancar.
"Wah Mao sudah pintar bahasa Mandarin," sahut Galih membuat sekelas tertawa, padahal kenyataannya itu memang bahasanya.