Anak Desa

Nicanser
Chapter #14

Efek vaksin

"Ada apa?" tanyaku dengan arah mata yang berlawanan.

Mao melihatku tidak menghampirinya langsung menuju tempat kami. Dia berdiri di depanku sambil menyodorkan kartu.

"Kau belum ambil kartu vaksin mu," ujarnya.  Ketiga temanku langsung mengarahkan tatapannya padaku.

"Masa kartunya kau gak ambil, Sa? Parah banget, kartu itu bisa dipakai untuk syarat apa saja," sahut Ata.

Aku langsung mengambil dengan cepat dari tangan Mao dan gadis itu pergi begitu saja.

"Makasih!" teriakku. Mao tidak berbalik dia hanya mengangkat tangannya.

"Eh emang dibutuhkan sekali, ya? Aku tadi baru aja buang!" Rohan segera pergi mencari. Ata menepuk jidatnya tidak habis pikir. Sedangkan Galih dengan posisi yang meringkuk masih sempat meraba saku celananya untuk memastikan kartunya masih ada, setelah itu dia baru bernapas legah.

Aku tidak tahu kenapa Mao harus repot-repot mengantarnya, apalagi di tempat tongkrongan laki-laki yang isinya hanya anak berandalan dan bau asap rokok, padahal aku bisa mendatangi UKS dan meminta langsung pada dokter Tao.

***

Sepulang sekolah aku diajak Ata pergi ketempat tongkrongan baru Rohan. Mereka memilih membuat tempat itu dari kayu yang disusun menjulang ke atas dan menjadikannya tempat santai sambil melihat seisi desa yang terlihat kecil. Modelnya pun persis seperti toer, bedanya mereka membuat tangga agar lebih mudah naik ke atas.

Aku yang masih mengenakan baju sekolah menurut saja. Setelah berteman dengan Rohan laki-laki itu sudah menganggap ku bagian dari gengnya padahal aku mati-matian menjauhkan diri dari orang-orang, itu akan berpotensi membuatku masuk ruang BK, apalagi amukan dari Asa. Aku sudah menahan diri, tapi aku juga tidak bisa menjadi anti sosial karena itu. Aku butuh interaksi sosial salah satunya yang kubiarkan adalah Ata namun dia lagi-lagi membawaku pada Rohan.

"Woi! Ngapain diam aja? Naik! Gak bakal roboh kok!" teriak laki-laki yang baru kupikir kan tadi. Aku mendongak mendapati dia yang sudah sampai di atas bersama Rohan dan beberapa teman lainnya.

Aku menurut saja, membuka sepatu dan kos kakiku dan mulai menaiki satu per satu tangga yang terbuat dari rotan itu.

Kreeet

Setiap tangga yang ku injak akan menimbulkan suara yang sama, aku tidak pernah membayangkan akan mati hanya karena terpeleset atau rotan yang patah. Selama mereka hidup mungkin akan menertawakan alasan meninggalku itu.

Setelah sampai di atas, angin berhembus kencang sampai tanganku refleks memegang beberapa tiang di samping. Tapi jujur setelah diamati kembali tempat itu benar-benar sejuk dan menyenangkan. Selama aku kecil, aku tidak banyak menghabiskan waktu bermain di luar dan hanya di asrama, aku tidak pernah mengenal tongkrongan konyol mereka dan apa yang mereka bicarakan semuanya lucu dan asing bagiku tapi setelah mencobanya_rasanya seperti mengemut permen anak kecil, candu_ karena sadar aku masih butuh sisi anak kecil dalam hidupku.

"Aku punya berita!" Rohan tiba-tiba serius di tengah terjangnya tawa membahana dari anak-anak lain.

Kami duduk menyila, mendekatkan diri satu sama lain sambil menyentuhkan kepala kami berbentuk lingkaran.

Lihat selengkapnya