Anak Desa

Nicanser
Chapter #16

Pulang

Akhirnya aku pulang setelah setelah Asa membayar. Selama ini biaya bpjsku dibiayai oleh Asa tapi setelah dia berhenti bekerja di kota, bpjs itu pun di non aktifkan. Dalam situasi ini, pikiranku berkelana pada sosok ayah, aku tidak tahu dia masih berada di mess untuk bekerja atau tidak. Aku tidak tahu keberadaannya, dia sudah menikah kembali atau bagaimana, aku hanya merasakan hampa yang tidak berujung. Mau sedih tapi gengsi hingga berakhir pasrah dengan keadaan.

Malam itu aku pulang, aku tidak menginap karena memikirkan biaya yang akan semakin mahal. Lebih baik dirawat di rumah dan diurusi Asa bersama lantunan suara cemprengnya yang menemaniku, tapi setelah dipikir-pikir kembali ada Mao yang akan menginap, mungkin itu akan membuat Asa berubah menjadi lembut walau hanya satu hari.

Malam yang dulunya aku rasa sepi dan sunyi kini berubah, cahaya lampu yang terang benderang menemani setiap jalan, rasanya seperti masih sore padahal jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Hari itu aku diantar oleh Mao_gadis cina itu mengantarku menggunakan mobil mininya, meskipun umur nya terbilang cukup muda tapi dia pintar menggunakan roda 4 itu, aku pun jadi merasa minder. Jadi selama perjalanan Asa dan Mao berbicara panjang lebar hanya aku yang diam di kursi penumpang. Jangan tanyakan Ata dimana, dia masih betah di rumah sakit melihat kondisi sepupunya Lili.

Selama perjalanan aku hanya melirik ke arah jendela, memperhatikan desaku yang perlahan berubah. Dulu hanya ada kios-kios kecil sekarang sudah tersedia alphamidi, dan Indoapril. Dulu belum ada kos dan penginapan, tapi sekarang sudah berjejer rapi di pinggir jalan. Rumah makan baru di buka berseliweran dengan berbagai macam menu. Dulu bengkel hanya 1 tapi sekarang bertambah dan tokonya jadi lebih besar, dulu potong rambut sangkat langkah, biasanya kami memotong rambut hanya memintanya pada orang dewasa tapi kini sudah membuka tokonya masing-masing. Begitu pun dengan Spa, ruko kecil, ekspedisi JNT, BRI link, penjual makanan keliling dan lain sebagainya. Benar-benar lengkap.

"Ihh itukah spa, aku dengar dari karyawan yang datang berobat, disana pelanggannya cuman laki-laki doang!" celutuk Asa tanpa sadar sambil menunjuk spa yang tempatnya penuh lampu warna-warni.

Pikiranku jadi traveling, di tambah dengan karyawan di spa itu kebanyakan menggunakan rok mini dan berurai panjang, duduk di depan toko sambil tertawa bersama karyawan cewek lainnya.

"Dulu sih, kalau liat cewek gituan pasti udah di usir dari desa, sekarang mah jaman udah berubah ya! Yang kek gitu malah dibiarin masuk!" Asa tambah mengomel. Adat istiadat pun memang sudah dilupakan di desa, interaksi sosial seperti yang terjadi pada Lili pun sudah tidak dipedulikan lagi. Mereka cuek masing-masing dengan moto : itu hidupmu dan ini hidupku.

"Oh iya kak, Kakak lupa dengan pasien tadi sore yang di rujuk di puskesmas? Katanya punyanya berdarah karena melakukan itu, apa jangan-jangan itu karena efek spa juga?" Aku melotot mendengar itu dari Mao. 

"Sudah dipastikan!" Asa berseru membenarkan. Dia berbalik melihatku di kursi penumpang dengan tatapan tajam.

"Awas aja ya, kau sampai main di spa!" Aku terkejut sambil menggeleng pelan. Mulutku bahkan tidak bisa mengeluarkan sepatah kata. Aku masih lemah hanya untuk bicara. Lagian buat apa datang kesana hanya untuk cari penyakit, hidup masih panjang, lakukan hal-hal yang bermanfaat itu lebih seru.

Akhirnya Mao sampai diperkarangan rumah, aku turun dipapah oleh Asa, tapi belum beberapa langkah, seseorang langsung menemuinya. Aku hanya bisa diambil alih oleh Mao. Aku sebenarnya enggan dipegang oleh perempuan selain Asa tapi mau bagaimana lagi aku masih cukup pusing.

"Itu orang yang mau sewa bagian halaman rumahmu, Sa," bisik Mao sambil tersenyum. Tanpa sadar senyumku sedikit terukir lalu menggeleng untuk menyadarkan.

"Aku tahu karena tadi orang itu nelpon kak Asa Mulu di RS, awalnya gak di hiraukan, eh nekat ke RS biar ketemu, yaudah Kak Asa iyain."

Rasanya ada campuran rasa lega di hatiku, meskipun ayah kami tidak mengirimkan uang untuk biaya hidup tapi masih ada Asa yang berjuang untukku. Aku bangga padanya.

Mao mendudukkan ku di kamar, aku baru menyadari setelah tangannya terlepas dari pinggangku, harusnya aku menghentikannya saja di depan pintu! Rasanya malu sekali membawa gadis itu masuk ke dalam kamar pria.

Lihat selengkapnya