Aku tidak hentinya bengong kayak orang bodoh di sekolah, harusnya kisah ku bukan genre romantis tapi entah kenapa dunia berubah filter jadi merah mudah setelah bertemu dengan gadis itu.
"Eh kau gak liat, Sa kemarin?" tanya Galih mulai menepuk bahuku.
Aku memiringkan kepala melihatnya yang mulai bergabung duduk di pinggiran lapangan badminton.
"Kemarin kakak Bastian yang cewek lamar kerja di perusahaan, pas di arahin dia malah ketawa, di bilang lah kurang atitud, Bastian marah denger itu pas kakaknya pulang, udah mau bersiap demo keknya lagi." Galih yang ingin kembali meminum buavitanya langsung ditahan Ata.
"Ya lagian itu orang perusahaan gitu karena kakaknya salah, Itu mereka tegur juga karena udah emosi sama orang-orang desa sebelah yang ngelamar perusahaan gak lolos malah demo, maunya mereka tuh kalau udah gitu ya seegaknya diam duduk bae kalau di arahin, ini malah ketawa gak tambah meledak tu!" ujarnya dan mulai meneguk buavita Galih sambil duduk bersila di hadapanku.
Aku tidak ingin merespon hal itu, aku sudah melihat kemarahan Bastian saat di kelas mending tutup mulut.
"Itu orang perusahaan sensi amat! Lagian bukan dia juga yang diketawain berasa hanya dia hidup diduni ini!" tambah Galih tidak terima.
"Kalau udah masuk dunia industri atau pekerjaan, kita di tuntut untuk lebih formal, terlihat wibawa dan profesional. Gak hanya di perusahaan kok di tempat kerja lain juga bakal gitu aturannya, anak kecil mah bisa apa!" Galih terdiam cemberut. Dia merapas minumannya dan beranjak dari sana.
"Kemarin keknya kakaknya juga ngelamar disana, makanya dia marah," bisikku membuat Ata ber o riah sambil melipat bibirnya rapat.
"Oh ya Sa, banyak yang gosipin kau tadi di kelasku." Aku melirik Ata malas saat pandangku mulai tertuju pada kakak senior yang bermain badminton.
"Gosipin apa dah, gabut bat yang ngegosip." Aku bangkit dari duduk dan mulai mengambil alir raket dari kakak senior.
Aku menunjuk Galih yang duduk di kursi tinggi dekat lapangan dan dia mulai mengangguk paham dengan aba-aba ku untuk mulai menghitung permainan.
Lawanku adalah Arif_laki-laki yang juara antar sekolah. Aku rencana menemuinya di lapangan untuk memastikan kekuatan tanganku setelah di suntik vaksin apa masih sanggup atau tidak. Dan akhirnya yang di tunggu-tunggu sudah ada di depan mata saat sahabatnya Gafit berpamitan untuk ke toilet.
"Tumben Sa main ini, padahal biasanya main bola sama Aris." ucapnya tertuju pada kapten bola temannya.
"Bosan aja, mau coba hal baru!" seruku dan mulai membuang bulu.
Dia dengan gesit menangkisnya, gerakannya bahkan lebih lincah dariku. Bolanya juga tinggi tidak saat melawan Gafit yang datar dan rendah. Aku sampai kewalahan dan berkeringat mengejar bulunya.
"Sa! Aku mau tanya!" Aku menangkis sambil mengangkat kening, saat mendengar laki-laki berambut kriwil itu berucap.