Anak Desa

Nicanser
Chapter #18

Blok Jalan

"Mau pergi mana, Sa?" tanya Asa saat melihatku memperbaiki topi di cermin. Aku menoleh melihatnya baru saja pulang membawa makanan di plastik.

"Ke kebon, katanya kalau ikut demo disana bakal di bayar per kepala..." Belum selesai aku melanjutkan ucapanku, Asa langsung mendaratkan jitakannya di kepalaku.

"Emang punya tanah disana? Gak usah ikut! Bikin malu aja!" setelah itu dia pergi ke dapur. Kepalaku rasanya nyut-nyut, mendapatkan jitakan itu. Aku hendak pergi saja dari rumah tapi aku langsung terdiam melihat sendalku yang penuh dengan lumpur.

Asa memakainya pergi kemana-mana padahal dia punya sendal sendiri, di tambah musim hujan membuat sendal itu harus ku bersihkan terlebih dahulu. Aku beralih ke sumur untuk mencuci sepasang sendalku yang dipakai Asa tapi sampai disana_tanpa sengaja melihat kacamata yang dijemur. Biasanya saudara perempuanku itu akan menjemurnya sampai aku tidak pernah melihatnya tapi baru kali ini dia terang-terangan.

"Sa! Katanya takut kalau ada orang yang curi bh mu, kok malah di jemur terbuka gitu?!" ucapku setengah berteriak karena jarak sumur ke dapur lumayan jauh.

"Bukan punyaku itu! Punya Mao! Minta tolong tutupin pakai sarung!" jawabnya sambil berteriak juga. Aku tersentak mendengar nama gadis itu. Tiba-tiba aku jadi merasa kepanasan, dan gerah lain-lain. Aku baru menyadari kalau gadis itu kemarin memang menginap di rumah, aku sampai tidak pernah melihatnya setelah sakit. Aku tidak tahu kapan dia pulang dan baru ketemu setelah di sekolah dia melarangku main raket.

Segera aku mencari sarung dan menutupinya dengan cepat sambil bernapas legah. Namun suara siulan membuatku hampir jantungan. Didepan sana sudah ada Ata dan Galih yang tersenyum menggodaku.

"B*bilah!"

Ata tertawa terbahak-bahak. Kakiku meluncur menghampiri mereka sambil menjepit kepala keduanya.

Galih berhasil meloloskan diri sedangkan Ata masih sibuk tertawa dengan kapala yang setia di bawah ketekku.

"Mau kemana kau, Sa. Pake topi?" tanya Galih penasaran dengan penampilanku yang jarang memakai topi hitam.

Aku melepaskan kepala Ata lalu mempererat topi yang kukenankan. "Niatnya mau ikut demo di kebun, cuman kan ya orang yang ke sana harus punya tanah dulu, jadi ya ga jadi."

"Mending ikut demo blok jalan, gak harus punya tanah sih, cuman dudukĀ  dapat kopi dan makanan gratis, Mayan!" Sahut Ata masih cengengesan.

Kami bertiga pun mulai berjalan beriringan di tengah gerimis sore itu. Jalan yang becek, kendaraan yang ramai membuat kami berhati-hati berjalan agar tidak terkena cipratan air. Jalan raya yang padat membuat kami yang hanya pejalan kaki memilih gang sempit yang tergenang air. Tidak sepi, banyak pedagang kaki lima, mereka orang-orang baru yang datang dari berbagai desa untuk merantau.

Hari itu walaupun jam menunjukkan pukul 5 sore tapi cuaca nampak seperti malam. Gerimis yang tidak berhenti-henti membuat salah satu dari kami bersin bergantian.

Lihat selengkapnya