"Kau kan yang menyita barang, ku?!" seru Mao saat aku pergi menghabiskan waktu tidur siang di UKS.
Aku mendengar suaranya tapi tidak memilih membalikkan badan.
"Sa kalau gak bisa buat orang bahagia seegaknya jangan seenaknya!" Kali ini Mao menggoyangnya dengan sedikit kasar di bahuku.
Mao sangat salah jika menuduhku membuang barang jualannya. Aku memang membenci kejadian kemarin tapi tidak sampai membuang waktu mencuri barang-barangnya di loker. Aku tahu siapa pelakunya karena saat pergi rapat karang taruna si empu ada disana, dia menyuarakan pendapatnya tentang barang dagangan yang masuk di desa.
"Issa!!!"
"Apa?!" Aku langsung bangun dan menatapnya jengkel.
"Kau pura-pura bodoh apa gimana, sih? Semua desa juga gak suka kau datang kemari, ngapain sampai bawa barang?"
Mao terdiam sejenak. Matanya sampai berkaca-kaca mendengar kalimatku, mungkin itu menyakitkan baginya. Aku hanya ingin mengajari gadis itu agar lebih kuat, karena bukan hanya aku yang dia temui tapi Bastian_orang yang mencuri barangnya dan karang taruna : kelompok dari desa.
"Kau salah! Mereka tidak semua sepertimu! Masih banyak kok yang nerima aku disini! Buktinya mereka beli barang yang aku bawa!"
Aku berdecak sinis, gadis itu sangat naif.
"Mereka itu semua munafik, apa kau bodoh sampai tidak menyadarinya? Otakmu memang tidak bekerja dalam hal begituan, yang kalian pikirkan itu hanya menjalankan bisnis!"
Mao menghampiriku dan langsung menampar pipiku. Rasanya tidak begitu menyakitkan dibanding perasaannya sekarang.
"Kalau kau berpikir seperti itu, ayo buktikan! Sekarang ada pendaftaran menjadi ketua OSIS, siapa yang terpilih, berhak mengatakan apa yang ia mau, tapi kalau sampai kalah, dia harus menuruti ucapan ketua OSIS!" Setelah mengatakan itu dia membuka tasnya, mengambil selembar kertas dan polpen lalu menyodorkannya padaku.
"Isi!" tekannya dan dia pun melakukan hal yang sama. Mao beralih duduk di meja kerja dokter Tao lalu mengisi identitas diri dengan air mata yang mulai mengalir di kedua pipinya.
Aku terkesima melihat Mao sampai menangis, aku merasa menjadi manusia sampah seutuhnya. Tanganku akhirnya tergerak melakukan apa yang ia minta.
Setelah menandatangani, Mao merampas kertas itu kemudian berjalan pergi meninggalkan ruangan yang lenggang. Kakiku tiba-tiba lemas, aku terduduk lunglai di brankas.
Aku teringat sesuatu, segera aku keluar dari UKS dan pergi mencari Bastian disetiap koridor dengan perasaan was-was.
"Kenapa kau, Sa?" tanya Ata melihatku buru-buru.
"Bastian, mana?!" Ata menunjuk ke arah belakang sekolah. Aku segera berlari, dan Ata menahan tanganku.