Sepulang sekolah aku dan Ata ikut rombongan pak Anca untuk pergi mengelilingi desa dengan tujuan untuk membersihkan lingkungan, jangan tanya dimana Galih, dia sibuk liburan dengan keluarganya memakai mobil baru.
Aku dan Ata juga tidak penasaran dengan benda seperti itu karena kami orangnya mabuk darat. Jadi agar tidak bosan di rumah kami ikut saja berpetualang seperti bolang.
Gerombolan anak muda berjalan bersama-sama. Melestarikan lingkungan desa yang terlihat hampir punah. Meskipun di jalan aku masih mendapati orang luar berfoto-foto. Jembatan layang yang dibangun perusahaan juga terlihat biasa saja di mataku tapi orang kota itu nampak tertarik dan menguploadnya di media sosial.
Jalan yang sering dilewati perusahan juga di blok Kade oleh warga desa sebelah, hal itu juga biasa bagi kami, tapi orang-orang luar malah merekamnya. Seakan-akan mereka reporter mau meliput berita.
Dermaga di pantai tempat aku memancing dan Ata juga terlihat seperti wisata bagi orang luar, padahal disana hanya ada bau minyak yang tercium dari pabrik.
"Begitu-begitu nanti desa kita juga bakal jadi kota, loh!" celutuk Pak Anca seakan mengerti dengan tatapanku.
"Kalau di bangun mol disini aku pasti setiap hari datang deh, main!" seru Ata terlihat sumringah.
Aku tidak tahu apa hanya aku yang tidak suka dengan perubahan ini. Pikiranku yang terlalu sempit atau bagaimana? Aku hanya merindukan desaku, desa yang udaranya masih sejuk dari gunung, air laut yang masih segar dan belum terkontaminasi dari limbah. Suara burung yang berkicau di pagi hari bukan suara buatan untuk pemanggil burung walet.
Dulu di langit hanya ada layang-layang bukan drone, dulu kami bermain kelereng dan mandi di sungai bukan main ponsel. Mengikuti zaman rasanya harus menjadi pemula lagi. Belajar menyesuaikan. Generasi baru ternyata menempati orang paling suhu dalam teknologi.
"Oy! kalian disini rupanya!" sapa Rohan. Laki-laki jadi terlihat gendut setelah beberapa hari tidak kelihatan.
"Gak kerja kau?" tanya Ata menghentikan aksi memungut sampahnya.
"Aku sif malam..." Belum selesai dia berbicara ponselnya berdering.
Laki-laki itu terlihat hanya menatap layar lalu berdecak kemudian menaruhnya kembali di saku.
"Kenapa gak di angkat? Itu bukan bos mu, kan?" tanya Ata sambil terkekeh.
Rohan menghela napas panjang.
"Biasa, itu pacarku." Aku dan Ata terlihat syok sambil melihat satu sama lain.
"Aku peringati deh, di umur kalian sekarang jangan mau pacaran, jangan kayak aku udah terlibat jauh dengan begituan, akhirnya tersiksa juga, mau berhenti tapi kesepian juga."
"Dengerin tuh," bisik Ata sambil menyenggolku. Padahal aku tidak tahu apa-apa.