Dari sekian banyak tulisan yang ku ikut sertakan hanya cerpen itu yang masuk tiga besar, dengan judul Mao_si gadis cina. Aku tidak tahu kenapa tulisan jelek itu bisa memenangkannya. Padahal tulisan lain yang ku tulis dengan sungguh-sungguh malah gagal dan tidak pernah masuk lima besar.
"Sesuatu yang kita tulis itu bernyawa, apabila orang yang membacanya bisa merasakannya," ujar guru bahasa Indonesia bersamaan saat aku memikirkan hal-hal yang tidak penting.
"Kalau tidak bisa merasakannya berarti tulisannya gagal, Bu?" tanya salah satu teman kelas.
"Tidak gagal juga tapi itu belum masuk dalam sebuah seni, karena seni sejati adalah bisa menyampaikan sesuatu tanpa perlu bicara."
Aku terkesima mendengarnya, apa perasaanku yang ku tulis itu sangat bisa dipahami oleh dewan juri? perasaan suka tapi tidak bisa memilih, seperti cahaya matahari yang semakin bersinar, maka semakin menunduk juga orang melihatnya.
Bel istirahat pun berbunyi, semua murid berhamburan keluar kelas. Ada juga teman-teman malah berkumpul untuk menonton film horor di leptop salah satu teman yang membawa.
"Mao kalau senyum manis banget, ya? Aku baru kali ini melihatnya," ujar salah satu senior yang lewat di kelas kami.
Aku beralih pada gadis itu, dia sedang tertawa melihat teman-temannya ketakutan menonton film itu. Diantara semua gadis, sorotan lampu seakan hanya tertuju padanya, dia seperti tokoh utama di skenario dunia.
"Awas! iler kau jatuh," tukas Ata mengatup mulutku. Aku gelagapan dan segera membuang muka.
"Di samping sekolah ada kolam, kesana yuk! Anak-anak pada mandi-mandi!" ajak Galih. Aku menurut saja daripada kedapatan melihat Mao tertawa.
Untuk kesana kami harus melewati semak-semak dan akhirnya sampai ke tempat itu, kolom itu juga merupakan bagian dari rumah yang pemiliknya pindah kemarin, jadi airnya masih bersih dan bisa dipakai untuk mandi-mandi. Dan di desaku hanya pemilik rumah ini yang orang kaya, pas tahu dia pindah kami berbondong-bondong pergi ke kolamnya untuk merasakan bagaimana mandi di kolam orang kaya itu.
Galih yang terbilang orang kaya baru pun tidak punya kolam luas dan sedalam itu, jadi kami bertiga ikut terjun mandi bersama teman sekelas lainnya. Kami menghabiskan waktu disana seharian, demi kolam kami bolos. Kami juga meminta adik kelas untuk membelikan kami makanan. Kenangan itu akan kuingat selamanya.
Kami pulang saat bel pulang juga berbunyi, kami mengikuti rombongan anak-anak yang keluar kelas, seakan terlihat kami juga sudah mengikuti mata pelajaran terakhir. Aku sempat berpapasan dengan Mao di koridor. Dia melihat ku sambil geleng-geleng kepala. Saat dia hendak berbalik, tanganku refleks menarik tasnya.
"Ada apa?" ujarnya malas sambil menolehkan kepalanya menghadapku.