Panas badanku tinggi. Aku sakit. Yang kuingat, kulakukan setelah berganti pakaian yaitu berbaring di sofa menunggu hujan reda, tapi setelah itu aku malah terbangun di tempat tidur dengan kompres yang ada dijidatku.
Tidak lupa kehadiran Ata dan Galih yang ada disana. Mereka memainkan gitar sambil bernyanyi dengan volume keras sampai aku terbangun, memang mereka laknat sekali.
"Tuan putra bangun!" seru Ata dengan suara centil yang dibuat-buat.
Kak Asa datang, dia memeriksa ketekku, ternyata disana ada termometer yang ia simpan. Setelah mengecek suhunya, wajahnya terlihat sedikit legah dan mengambil kompres di kepalaku lalu keluar kamar.
"Coba tebak ini tahun berapa?" tanya Ata dengan wajah serius sambil duduk di sampingku. Aku yang baru bangun langsung disuruh berpikir. Kalau memang tahun sudah berlalu dan aku koma itu lebih bagus karena aku tidak perlu melakukan ujian kenaikan kelas dan bisa langsung kerja di perusahaan.
"Mulai deh, nanyain gak penting!" Asa kembali dengan suara cemprengnya, dia membawa makanan di mapan dan meletakkannya di meja.
Galih membantuku duduk, sambil bersandar di dinding. Mereka terlihat masih mengenakan pakaian sama saat pergi ke goa jadi bisa di pastikan mereka turun mencariku dengan Mao.
"Bantu dia makan! Aku mau pergi dulu!" titah Asa pada Ata dan berlalu pergi. Sedangkan laki-laki itu mulai tersenyum jahil, dia mengambil sendok yang sudah berisikan bubur sambil memainkannya seperti pesawat.
"Aaaa, coba Aaa?" ucapnya dengan mulutnya yang ikut terbuka juga.
Aku menghela napas pendek, dan mengambil alih sendok itu dari tangannya, padahal aku masih bisa makan sendiri.
"Yah, gak jadi video deh!" desah Galih yang sudah memegang gedjetnya dari tadi.
"Buat apan emang?" tanyaku di sela-sela makan.
"Buat kirimin kak Wakil ketua OSIS, kak Rendra."
"Foto aja kan bisa," ujarku malas.
"Udah dari tadi, malah lebih banyak pas ada Mao!" timpa Ata. Fokusnya beralih pada rak-rak bukuku yang tersusun rapi.
"Eh iya, Mao mana?"
"Udah pulang dari tadi, oh ya kalian habis ngapain aja?" Kini laki-laki itu beralih serius dengan senyuman nakal.
Galih juga memasukan ponselnya di saku celananya dan ikut duduk manis di samping ranjang menatap diriku dengan antusias.
"N-ngapain apa? Maksudnya?"
"Ya ngapain aja dirumahmu sampai kalian cuman berdua, dan Mao sampai pakai bajumu."