Anak Desa

Nicanser
Chapter #38

Bertemu Ayah

Mendapatkan berita tentang ayahku membuat ambisiku terhadap perusahaan berkurang sedikit demi sedikit. Aku jadi tidak penasaran dapertemen apalagi yang belum ku kunjungi.

Setelah pertemuan bareng sahabatku hari ini, aku memberitahukannya pada Asa posisi Ayah berada. Dia sama terkejutnya lebih tepatnya menahan amarah, tapi respon yang ia berikan hanya hembusan napas pelan dan berlalu masuk dalam kamarnya.

Aku menunggu arahannya, aku tidak bisa pergi sendirian kesana. Keputusan seperti ini pun masih minta persetujuan dari Asa.

Hingga suatu hari, Asa memanggil ku di ruang tamu. Raut wajahnya serius. Dia memberikanku surat tanah dan beserta foto dan lokasinya.

"Kita akan pindah kesana, kau bersiap saja," ujarnya mantap.

Aku sampai hening sesaat. Mempertahankan rumah ini dari perusahaan itu sulit ditambah kurangnya ekonomi, lain sebagainya dan perempuan itu malah ingin menjualnya dan pergi ke tempat yang baru.

"Kenapa tiba-tiba?" tanyaku ragu.

"Kau tidak lihat sekarang ekonomi kita sudah terpenuhi? Apalagi yang mau dipertahankan di desa kecil ini? Kau ingin terus menghirup debunya? Kau tenang mendengar suara bising perusahaan setiap malam? Desa sebelah saja sudah bau pabrik, pasti desa kita juga akan mengalaminya, dan? Orang yang selama kita cari sudah hidup bahagia."

Nada suara Asa bergetar. Dia memalingkan wajahnya. Baru kusadari kami hanya hidup hanya untuk satu orang yang tidak merindukan kami. Dari kami masih kecil hingga tumbuh dewasa tidak ada perubahan sama sekali.

Rambut Asa yang kutahu berambut pendek kini memanjang dan dibiarkan tergerai menutup pipinya yang dibasahi air mata.

"Dulu itu tujuan kita, sekarang bukanya setidaknya kita melihat keberadaannya?"

Aku membuka suara dari heningnya ruangan itu. Terdengar segukan dari Asa sampai dia menatapku dengan mata sembabnya.

"Ayo," ujarnya pelan nan pasti. Aku mengambil tisu di meja lalu memberikannya.

"Ingusmu jatuh," ucapku jujur. Matanya langsung berubah menyala tajam. Bukannya mengambil tisu yang ada di tanganku dia malah mengambil sekotak tisu dan menghantamnya di kepala ku.

"Pantas sampai sekarang kau tidak punya pacar!" teriaknya. Dia mengambil berkas yang ada di meja kemudian pergi meninggalkanku masuk kamar.

Untung saja tisu itu bukan benda tajam dan mematikan. Aku masih bersyukur bisa hidup di dunia ini bersamanya.

Sorenya kami bersiap-siap untuk menemui kenyataan. Kenyataan bahwa kami tidak perlu berharap pada ketikpastian.

Lihat selengkapnya