Blurb
Dulu aku punya pelukan. Punya harapan. Punya alasan untuk tertawa tanpa harus meminta izin dunia.
Tapi kemudian segalanya dirampas—oleh cinta yang tak tahu menjaga, oleh masyarakat yang gemar menuding tanpa pernah benar-benar melihat, oleh hidup yang terlalu kejam untuk anak-anak yang lahir dari luka.
Ibuku disebut penghibur. Aku disebut anak haram. Sekolah bukan tempat belajar, tapi panggung penghakiman.
Jalanan bukan tempat bermain, tapi lorong sunyi tempat harga diri diinjak. Setiap langkah adalah upaya bertahan. Setiap napas adalah perlawanan diam.
Aku hidup di antara mereka yang disembunyikan dari brosur pariwisata dan ceramah agama. Tapi dari merekalah aku belajar tentang ketulusan, keberanian, dan cinta yang tak bersyarat.
Malam ini, aku tak lagi meminta untuk dimengerti. Aku hanya ingin dikenang. . . bukan sebagai aib, tapi sebagai saksi. Bahwa di balik nama-nama yang dihapus, masih ada manusia. Masih ada aku.