Anak Eks Tapol

Iwan Rokhim
Chapter #2

Chapter tanpa judul #2

Sore ini sambil menunggu adzan magrib aku gobrol sama ibu, banyak hal yang menjadi materi pembicaraan kami berdua. Tiba-tiba ibu menghirup udara dalam-dalam dan menghembuskan dengan berat.

’’Sebenarnya hidup kita tidak akan seperti ini, jika negara adil dalam memperlakukan warganya,’’ kata ibu.

’’Maksudnya ibu itu apa ?’’ tanyaku.

Kemudian ibu mengambil segelas air putih lalu meminumnya, kemudian ibu mulai bercerita.

’’Waktu itu bapakmu habis pulang kerja sebagai sopir truk harian. Saat itu ada syukuran acara 17 Agustusan. Acara makan-makan yang dihadiri warga sekampung itu sangat meriah sekali. Setelah acara makan selesai bapakmu membawa pulang berkatan,’’ kata ibu sambil meminum air.

’’Terus cerita selanjutnya bagaimana Ibu?’’ tanyaku.

’’Bapakmu didatangi beberapa orang untuk diajak main catur, dan untuk menghormati itu bapakmu ikut main catur. Kebetulan bapakmu paling pandai bermain catur. Kebetulan saat itu bapakmu bermain dengan ketua partai yang lagi naik daun yaitu PKI namanya Suparlan. Karena dua ahli catur sedang bermain maka yang melihat juga banyak sekali, tapi sejak itu bapak dicap menjadi anggota PKI. Padahal bapakmu hanya seorang sopir dengan dua anak laki-laki,’’ kata ibu.

’’Lho berarti Adil punya saudara ibu?’’ tanyaku.

’’Ya, saat itu usiamu baru satu bulan. Bapakmu, Suparlan dan anaknya yang bernama Rahayu lagi ngobrol. Tiba-tiba datang segerombolan orang dengan memakai cadar dari sarung dan pedang, tanpa mengeluar suara langsung mereka menyerang dengan membabi buta ke arah bapakmu, Suparlan dan Rahayu. PKI..PKI.. hanya itu yang keluar dari mulut mereka,’’ kata ibu.

Kemudian ibu terdiam sambil meneteskan air matanya, diusaplah air matanya dengan ujung jari yang dipakainya lalu minum air seteguk.

’’Sejak itu di KTP ibu ada tulisan ET, yang berarti ibu ini bekas tahanan politik. Atau lebih kerennya ibu ini anggota PKI, padahal ibu ini muslimah sejati yang tidak mengerti dunia politik. Bahkan nama ibu sudah masuk daftar merah aparat keamanan,’’ kata ibu benar-benar menangis.

Aku ikut merasakan dampaknya, aparat kelurahan pun sinis dan melayani mengurus surat-surat untuk sekolah. Baru sekarang aku mengerti kejadian yang sebenarnya, ternyata bapakku orang baik dan bukan anggota PKI.

’’Di mana makam bapak sekarang ibu?’’ tanyaku.

’’Paginya ada ambulan yang membawa ke rumah sakit katanya untuk autopsy. Namun, sejak itu bapakmu dan kakakmu sudah hilang. Tapi di kali Brantas banyak sekali mayat-mayat mengambang, korban pembantaian seperti ayahmu,’’ kata ibu.

’’Meskipun negara tidak memberikan keadilan bagi kita, tapi Allah tetap melindungi kita sampai sekarang,’’ kataku memberi semangat pada ibu.

’’Tapi kenapa harus keluarga yang menanggungnya?’’ tanya ibu.

’’Mungkin jawaban itu akan muncul setelah penguasa di republik ini berganti, atau potong satu generasi’’ jawabku pada ibu.

Lihat selengkapnya