Saat anak-anak yang ikut bimbel istirahat, aku menemui Halim yang bersiap-siap untuk pulang.
’’Mohon maaf Bapak, saya minta waktu sebentar boleh,’’ kataku.
’’Silahkan Adil, ada apa?’’ tanya Halim.
’’Di belakang kan ada bekas gudang yang sudah tidak dipakai, bagaimana kalau saya bersihkan untuk kita jadikan musholah,’’ jawabku.
’’Bapak pasrah kepadamu, mungkin ada biaya perbaikan atau apa gitu?’’ tanya Halim.
’’Seperti tidak ada ada bapak, saya hanya butuh lampu penerangan saja. Kebetulan lampu yang lama sudah mati,’’ jawabku.
’’Ya sudah, kamu beli lampunya sendiri saja,’’ kata Halim sambil menyerahkan uang kepadaku, lalu bergegas pamit pulang.
Sekarang giliranku mengajar sampai pukul setengah sembilan malam nanti. Setelah selesai ibu menjalan tugas rutin, lalu masuk rumah untuk istirahat.
’’Ibu tadi Adil minta ijin ke pak Halim, membersihkan gudang itu untuk kita jadikan musholah,’’ kataku.
’’Bagus dan ibu setuju sekali, berarti besok kita kerja bakti. Kebetulan besok kan hari Minggu,’’ jawab ibu.
Kemudian kami berdua tidur di tempat yang menurut kami berdua sangat mewah, tanpa alaspun aku bisa tidur dengan nyenyak.
Pagi-pagi sekali saat aku mulai kerja bakti membersihkan gudang. Agus temanku yang jualan majalah dan koran datang ke tempatku yang baru.
’’Aku tadi ke rumahmu yang lama, tapi pemiliknya bilang kamu sudah pindah,’’ kata Agus sambil ikut membantuku kerja bakti.
’’Terus kamu tahu dari mana aku ada di sini?’’ tanyaku.
’’Aku lihat gambarmu di banner depan itu. Alhamduillah kemudian aku ketemu ibumu,’’ jawabku.
’’Ayo berhenti dulu, ini ada teh manis dan singkong goreng,’’ kata ibu.
Aku dan Agus langsung berhenti sejenak, lalu minum teh hangat dan makan singkong goreng yang masih hangat karena bikin sendiri.
’’Usahamu bagaimana Gus, pasti tambah maju?’’ tanyaku.
’’Malah sebaliknya Dil, bosku cerai dengan istrinya tempat usahanya ditutup,’’ kata Agus.