Anak Eks Tapol

Iwan Rokhim
Chapter #10

Chapter tanpa judul #10

Usaha ibu semakin maju, pesanan mulai membuat ibu dan 2 cewek yang membantunya sedikit agak kewalahan. Aku juga demikian banyak tawaran untuk mengikuti lomba asah otak, tapi sekarang lebih selektif dalam mengkuti lomba. Terutama masalah hadiah pemenang, kalau hadiahnya bea siswa dan pencairannya ruwet pasti aku tidak ikut. Tapi kalau hadiahnya tunai aku siap, karena aku selalu mengkonfirmasi dulu pada panitianya.

Hampir empat kali aku mengikuti lomba dan selalu juara satu. Namun, saat minta surat keterangan ke kelurahan untuk pencairan bea siswa selalu ditolak. Yang paling menanggung beban adalah ibu, ke ujung tombak pemerintahan ini selalu mendapat perlakuan diskriminatif.

Pagi ini kepala sekolah dan guru BP memanggilku ke ruangannya.

’’Adil bapak mau nanya, kenapa kamu tidak pernah mengambil beasiswamu?’’ tanya kepala sekolah.

’’Barangkali butuh bantuan Bapak siap kok, yang segala hak-hakmu bisa kamu dapatkan?’’ tanya guru BP.

’’Mohon maaf Bapak, sebenarnya saya sangat butuh itu. Tapi beasiswa itu tidak bisa cair karena satu aturan di masa Orde Baru ini,’’ jawabku.

’’Kok Bapak tidak mengerti?’’ tanya guru BP.

’’Bapak saya hanya seorang sopir, hanya gara-gara bermain catur dengan orang PKI akhirnya dicap PKI. Dan ketika ibu saya kekelurahan minta surat keterangan, untuk pencairan bea siswa di bank selalu ditolak. Karena di kelurahan ada cacatan bapak saya pendukung PKI,’’ kataku. Dan air mataku jatuh saat itu.

Kepala sekolah dan guru BP hanya terdiam saja mendengar penjelasan saya, tampak di wajahnya terpancar aura keheranan. Keduanya hanya bisa saling pandang tapi tak bisa berbuat apa-apa, karena ini aturan pemerintah orde baru. Sebagai pemerintahan yang sah dan didukung rakyat, meskipun tidak semuanya.

’’Tugas saya belajar dan mengharumkan nama sekolah ini semampu saya, soal hak saya itu biar Tuhan yang akan menggantinya kelak,’’ kataku.

Karena sudah tidak ada pertanyaan aku ijin kembali mengikuti pelajaran, walaupun lompat kelas aku tidak merasa berat dengan pelajaran yang aku ikuti. Malah menurut pelajaran kelas 3 sangatlah mudah, dan aku yakin bisa menyelesaikan semua pelajaran dengan baik.

Saat pulang ke rumah aku mendengar kabar Halim dan istrinya meninggal dunia. Karena pesawat yang menerbangkan keduanya jatuh di Malaysia. Halim dan istrinya mau berangkat ke tanah suci, untuk melaksanakan ibadah umroh. Tentu saja ini membuatku terkejut, aku langsung mengajak ibu ke rumahnya untuk takziah. Dan di rumah duka sangat ramai orang untuk persiapan pembacaan tahlil nanti malam, meskipun tidak ada agenda pemakaman jenazah. Kabar dari pemerintah menyebutkan pesawat masuk ke laut dan meledak, tidak satupun jenazah yang ditemukan.

Aku dan ibu pamit pulang kepada Halimah anak satu-satunya Halim, yang punya suami notaris sukses. Dalam perjalanan ke rumah aku mulai dihinggapi rasa was-was. Karena takut usaha ini akan ditutup Halimah. Ibu juga demikian, merasakan masa depan agak tergangu. Tapi aku dan ibu tetap menjalankan kerjaan ini, sampai akan ada keputusan dari Halimah. Bimbingan belajar kuliburkan selama tujuh hari, karena selama itu setiap selesai magrib aku dan ibu selalu ikut tahlil di rumah Halim.

Pada acara tahlil hari ke 7 aku dan ibu dipanggil Halimah dan suaminya.

’’Mas Adil masih mau melanjutkan bimbelnya ayah?’’ tanya Halimah.

’’Iya Bu Halimah? Saya siap melanjutkan,’’ jawabku.

Lihat selengkapnya