Anak Elang Vivian

Annsilly Junisa
Chapter #1

BAB 1: THE WEDDING

Pathetic,”

Aku yang sedang bergerak mengikuti antrean di lini kambing guling terpaksa menoleh ke belakang karena terusik dengan kata yang baru saja dilontarkan Gina—teman baikku- yang ternyata sedang menatap tatanan rambutku dengan ekspresi abstrak. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Dia menaikkan alis matanya saat tatapan kami bertemu, lalu mendorongku untuk beringsut maju begitu orang di depanku mendapat kambing gulingnya.

“Apa maksudmu?” tanyaku, kemudian aku tersenyum kepada pramusaji.

“Ya, kamu. Pathetic,” jawab Gina. “Menjauh, sana! Aku alergi dengan orang pathetic.” Dia menyikutku dengan bahunya yang lebar setelah pramusaji memberiku piring berisi potongan kambing guling.

Well, Saudari, yang barusan itu kasar sekali.” Aku mulai kesal. “Oh, terima kasih kambing gulingnya. Maafkan sikap temanku. Dia memang kekanak-kanakan,” ujarku pada pramusaji yang terpaksa menyaksikan adegan konyol yang kami lakukan. Dia hanya tersenyum, memenuhi SOP yang sudah ditetapkan vendor.

“Sekarang bukan waktunya untuk makan kambing guling, Nona Jacqueline!” seru Gina sambil melakukan perbuatan yang sangat kontra dengan ucapannya barusan—mengunyah kambing guling-. Penampilannya yang sangat cantik dibalut brokat lila dan riasan salon mahal menjadi mubazir karena sikapnya yang jauh dari kata elegan. Kami belum menemukan kursi untuk duduk, tetapi kambing gulingnya sudah habis setengah. Dia bahkan mengunyah sambil bicara sepanjang jalan—membuatku was-was karena beberapa kali ada partikel yang melompat dari mulutnya-.

“Coba deh, bicara yang jelas,” ujarku. “Oh, di sana ada kursi kosong!”

“Begini—” Gina terpaksa berhenti sebentar karena harus menyusulku berlari-lari kecil ke kursi yang barusan kutunjuk—takut diambil orang-. “Aku tidak habis pikir melihatmu, Vivian!”

“Apa?” tanyaku. “Cepat bicara yang jelas sebelum kesabaranku habis dan tubuhmu yang kuguling menggantikan kambing di sana!”

Gina mendaratkan pantatnya di kursi, meletakkan piringnya di pangkuan, melipat tangan di dada, lalu menatapku dengan sengit. “Fajrin sedang duduk manis di pelaminan dengan teman dekatmu yang lain, Vivian!” seru Gina sambil merentangkan tangannya untuk menunjuk ke arah pelaminan yang dimaksud. “I’m telling you, orang yang kamu suka sejak bayi sedang duduk manis di pelaminan dengan orang yang bukan kamu!”

Aku melirik ke arah pelaminan—di sebelah barat, kalau dari posisiku dan Gina-. Di sana, Fajrin yang merupakan teman baikku sedang duduk bersanding dengan Sarah yang juga teman baikku. Mereka tampak serasi mengenakan pakaian adat Palembang—tempat Sarah dilahirkan dan dibesarkan sebelum merantau ke Yogyakarta untuk menempuh pendidikan sarjana-. Bagaimana ya, aku menggambarkannya? Aku tidak menemukan kata yang tepat selain tampan dan bersahaja untuk Fajrin, lalu cantik dan bahagia untuk Sarah. Mereka seperti memang tercipta untuk satu sama lain. Melihat mereka tertawa berdua membuatku yakin kalau tempatku sudah tepat di kursi tamu.

“Wah, wah, lihat itu. Dunia milik mereka berdua…” desis Gina. Rupanya dia sedang menyaksikan hal yang sama denganku.

“Aku ikut bahagia bersama mereka, Gin. Jangan mengomporiku,” ujarku kalem.

“Yakin? Tidak baik, lho, memendam perasaan begitu.”

“Yakin. Seyakin keinginan untuk membunuhmu kalau-kalau kamu masih akan melanjutkan topik ini. Menurutmu, apa tanggapan orang-orang kalau sampai ada yang dengar bacotanmu?”

“Entahlah, mungkin mereka akan kasihan denganmu,” Gina mendelikkan bahu.

Aku memutar bola mataku. Bicara dengan Gina tidak ada gunanya. Lebih baik aku menghabiskan kambing guling yang sejak tadi kuanggurkan lalu mengantre zuppa soup. Aku berencana pulang ke rumah dengan perut penuh karena aku sudah memasukkan jumlah yang cukup banyak ke kotak uang di sebelah meja penanti tamu.

Lihat selengkapnya