“Apa kamu pernah suka dengan Fajrin?” tanyaku pada Gina saat kami berdua duduk di sebuah bar-dengan masih menggunakan gaun bridesmaid- seusai acara Fajrin dan Sarah.
Aku menatap Gina dengan kepala yang berat, bertopang pada tanganku. Kami tidak mabuk, hanya letih saja setelah seharian berkeliaran dengan high heels. Karena masih sama-sama tinggal dengan orang tua yang menganut prinsip hidup konvensional, kami tidak bisa pulang dalam pengaruh alkohol, jadi kami hanya memesan jus jeruk dan sepiring buah potong. Kami duduk di table bar menghadap barista yang tampak lihai meracik minuman. Sesekali pria itu melempar senyum pada kami—mungkin lebih tepatnya pada Gina yang hari ini memang lebih cantik dari biasanya- sambil berusaha membujuk kami membeli sebotol dagangannya. Sayang sekali dia tidak akan berhasil karena aku dan Gina masih ingin berada dalam Kartu Keluarga masing-masing.
Pasti aneh sekali, ya, dua orang wanita yang tidak sedang bahagia masuk bar tanpa memesan alkohol? Kalau Gina bilang, ini namanya mencari “vibes” untuk mendukung mood-ku yang buruk. Bagaimanapun, kami hanyalah dua wanita tulen yang lebih suka menabur garam dan memeras jeruk limau di atas luka ketimbang menutupnya dengan perban. Sama seperti mendengar lagu-lagu Vierra saat galau putus cinta masa SMA dulu, bukannya mendengar lagu JKT48 yang penuh energi positif.
“Pertanyaan konyol macam apa itu?” tanya Gina.
“Pertanyaanku masuk akal. Kita kan sudah saling mengenal sejak bayi. Rumah kita berdekatan. Kita menghabiskan banyak waktu belia bersama. Jadi, wajar saja kalau kita berdua jatuh hati pada Fajrin,” jelasku.
“Cuma orang aneh yang jatuh hati dengan sahabat popoknya,” jawab Gina sambil mengambil sepotong melon.
“Kamu bilang aku aneh?”
“Aku tidak bilang secara spesifik, tuh?”
“Siapa lagi maksudmu kalau bukan aku?” Aku mendengus. “Lagi pula, kenapa aneh? Wajar kok, jatuh cinta pada orang yang banyak menghabiskan waktu denganmu. Makanya ada pepatah yang bilang ‘jatuh cinta karena terbiasa.”
“Bagiku tetap aneh. Karena tumbuh besar bersama, aku lebih menganggap Fajrin sebagai keluarga,” jelas Gina. “Maksudku, aku sudah melihat penisnya lebih dulu daripada Sarah di bak mandi rumahmu!”
“Masuk akal juga…” desisku. “Walau begitu, kumohon, sensor kata-katamu yang vulgar itu!”
Mataku mulai terasa berat. Mungkin karena tadi siang aku menangis, jadi rasanya ada yang bergelantungan di kelopak mataku. Orang-orang yang melihatku pasti akan mengira aku sudah menegak beberapa seloki vodka.
“Kamu teler. Angin malam memang tidak cocok untuk wanita yang dua bulan lagi menginjak kepala tiga.” Gina menoyor jidatku sampai kepalaku terlempar ke belakang.
Aku berteriak kesal.
“Mau pulang sekarang?” tanya Gina mengabaikan protesku.
“Please, Gina… Jangan seret aku pulang sekarang…” kali ini aku merajuk. “Lebih baik aku dianggap gila karena memakai rumbai-rumbai brokat dan kain lilit di bar daripada harus pulang sekarang!”
“Kenapa? Kamu takut menghabiskan malam menangisi Fajrin di balik selimut?” ledek Gina.
“Iya! Puas?” jawabku jujur.
Gina menggeleng-gelengkan kepalanya melihatku yang pathetic. Dia melempar ledekan lagi, namun aku tidak peduli. Yang penting, malam ini dia mau menemaniku menghabiskan waktu di tempat ramai sampai fajar menyapa.