Malam hari, mati lampu, gelap gulita. Tak ada senter, tak ada lilin, tak ada cahaya; tidak bahkan sinar lembut layar ponsel, berhubung aku tak punya ponsel—sudah kujual bulan kemarin, bersama kasur, bantal, dan guling; lemari beserta bajunya, kompor beserta LPG-nya, kipas beserta anginnya.
Aku miskin semiskin-miskinnya. Aku blangsak seblangsak-blangsaknya. Tak bekerja, tak berharta, tak berjiwa. Jadi, di sinilah aku, terbaring di tengah-tengah lantai tak berkarpet, terbalut sarung lapuk, berteman kesepian.
Aku menderita. Sekadar tidur pun aku tak bisa. Aku lapar. Sudah tiga hari aku tidak keluar kamar. Tiga hari sengsara yang kuhabiskan dengan berhibernasi di kosan mungil ini, tak bergerak barang sesenti (kecuali buat minum dan buang tai). Aku tahu ini kegiatan berbahaya, utamanya bagi jiwa; buat aku depresi, nyaris gila.
Tuhan ... aku ingin mati.
Hujan turun, besar bukan kepalang. Kemungkinan hendak banjir lagi. Tetes-tetes air terdengar dari suatu tempat di kamarku. Ada yang bocor. Kuabaikan. Biar saja air menggenang, kali aku bisa mati tenggelam.
“Muluk abis, nyet,” kataku.
“Berisik, njing,” timpalku. (Iya, aku ngomong sendiri.)
“Gak kerja, gak usaha, bokek pula. Dasar parasit! Beban keluarga! Sampah masyarakat! Jones abadi! Bujang madesu!”
“Gue gak madesu!”
“Oke, sori. Masa depan lo gak suram; masa sekarang lo yang suram. Kenapa lo gak mati aja, sih?”
“Takut sakit.”
“Ya cari yang gak sakit, apa susahnya?”
“Caranya?”
“Tanya Mbah Google.”
“Gak punya HP.”
“Kan lu beli lepi baru.”
“Rongsok.”
“Masih nyala, kan?”
“Gak ada batre.”
“Tinggal cas.”
“Listrik mati.”
“Tinggal tungguin nyala.”
“Gak bakal nyala.”
“‘Napa?”
“Diputusin ama ibu kos.”
Bingung mesti berkata apa lagi, akhirnya si bangsat diam juga. Syukur, dah. Dia super bising, buat kepalaku pusing. Sebagai keterangan, yang kumaksud dia adalah aku. Jadi, aku yang bising, aku juga yang pusing. Kenapa aku adu bacot dengan diriku sendiri? Kapan aku mulai kebiasaan nista begini? Entah. Sudah sejak lama, sebenarnya; tapi tak pernah separah ini.