Pada zaman dahulu, ketika ingus masih menggelontor dari hidungku, ketika paruh masih menghiasi burungku, dan ketika dosa belum menodai nuraniku, aku pernah mengira kalau wanita bunting gara-gara dicolek pria. Oleh sebab itu aku sempat ogah dekat-dekat anak perempuan, suatu hal yang kini diriku tak bisa pikirkan.
Terang saja, waktu itu aku polos bukan main, kalau bukan goblok setengah budek. Maksudku ... andai begitu aturan mainnya, kasus anak haram sudah meledak gila-gilaan, rumah ibu bidan jadi bangsal pengungsian, dan dunia kiamat sebab kebanyakan bacot yang mesti dikasih makan.
Kini aku sudah berkumis; si bocah murni tewas dihajar si pria keji. Kini, aku tahu bahwa dalam proses pembuatan bayi, diperlukan sebuah aktivitas spesifik yang melibatkan dua manusia bugil, lenguhan, desahan, memasukkan, mengeluarkan, serta gerakan maju mundur dalam jumlah konstan (atau minim dalam kasus yang mengenaskan). Aku ingin mencobanya. Konon rasanya enak. Aku tak tahu. Mungkin tak akan pernah tahu.
Tak penting.
Yang ingin aku sampaikan adalah: aku tak mengakui anak di balik pintu. Bukan sebab aku ini pria berengsek yang sembarangan buang berudu terus tak sudi tanggung malu, tapi sebab aku merasa sedang ditipu.
Aku punya anak? Oke, dapat dimengerti. Lalu? Kapan aku bisa buka baju? Kapan aku bisa memasukkan dan mengeluarkan burungku? Kapan aku boleh menyemprotkan berudu? Seseorang tolong jawab dulu sebab aku sangat ingin tahu.
Sungguhpun, ini adalah kezaliman yang tiada terkira. Enak-enakan dulu, baru tanggung malu. Ini mah enak-enakan kagak, tanggung malu iya! Anjing banget! Gak begitu juga prinsipnya! Yang adil, lah, woy!
Nyaris aku melakukan pending terhadap prosesi bunuh diriku (tai, memang; aku masih hidup). Tapi, sebelum itu terjadi, aku berpikir, Kalem, Hab, kalem! Jangan kepancing!
Kepancing apaan? tanyaku.
Ini jelas-jelas variasi penipuan “ini aku, ini aku”. Itu bocil di luar pengen lo mikir kalo dia beneran anak lo!
Gila, lo. Mana ada Gen-Z yang bakal ketipu yang begituan!
Lo mungkin enggak, tapi gimana sama cowok laen?
Aku terdiam. Dia (atau aku) ada benarnya. Dulu, aku pernah jadi target penipuan “ini aku, ini aku” sebelum modus itu tenar. Aku tak terjebak. Bukan sebab aku pintar, tapi sebab aku tak punya teman. Si penipu bisa bilang “ini aku, ini aku” seribu kali dan aku akan tetap melongo, tak punya nama yang bisa aku sebut sebagai tebakan.
Kasus kali ini sama saja. Aku tak mengakui si bocah sebab aku aku jomblo ngenes yang tak pernah menyentuh tangan perempuan, tapi bagaimana dengan pria lain? Di era di mana perzinahan sudah menjadi kelumrahan, aku pikir modus ini punya peluang yang cukup menjanjikan.
Tapi tunggu sebentar.
Udah buruan mampus, ah! Lama banget!
Bentar!
Apaan lagi?
Kalo emang itu anak cuman gembel yang pengen dikasih makan, terus gimana ... gimana dia tau nama gue?
Aku tak mampu menjawab.
Woy!
Gak tau! Tapi udah jelas dia bukan anak lo! Kita gak ada ingetan pernah ngentot cewek mana pun!
Maksud lo ada oknum tidak bertanggung jawab yang pengen nyoreng nama gue, gitu?
Nama lo udah belokot najis sampe gak kentara lagi kalo dicoreng juga. Udah. Ikhlasin aja.
Gak bisa gitu! Kenapa gue mesti jadi kambing hitam kelakuan bejat cowok lain? Kenapa gue yang bahkan gak pernah pegang tangan mesti kena batu sementara dia yang enak-enakan bisa idup bebas? Ini gak adil!
Dunia emang gak adil, makanya tinggalin aja.
Kalo gue bundir sekarang, orang-orang bakalan mikir gue yang beneran ngentot emaknya itu bocah!
Ya gak masalah.
Masalah! Ini gak adil! Gue pengen ngentot juga, anjing!
Aku meraih sarungku, menghela tubuh, lalu meloloskan diri. Aku jatuh ke lantai dan terengah-engah, lalu merayap dan mengintip jendela. Ada seorang bocah di teras, umurnya mungkin baru sembilan atau sepuluh, basah kuyup macam celurut kecemplung.
Pertamanya aku pikir aku sedang berhadapan dengan kunti mini, berhubung rambut si bocah yang mentereng bukan main—penuh dan ikal dan panjang. Helai-helai hitam kemerahan menyebar liar ke punggung, bahu, dada, tangan, perut, dan pinggul; lebat selebat-lebatnya, seolah separuh ukuran makhluk ini berasal dari rambutnya sendiri, yang notabene dalam kondisi basah. (Dalam kondisi kering, dia hanyalah segumpal besar rambut dekil yang berjalan.)
Baru setelah perhatianku lepas dari rambut, aku mulai menyadari sejumlah ciri fisik lain. Mata dan telinga yang terlalu besar di wajah yang kecil, sepasang alis jabrik yang menyatu, badan tipis macam ranting, bibir mungil manyun, hidung merah padam, pipi bulat tembam, kulit cokelat terbakar mentari. Di punggungnya yang kecil, tergendong ransel pink besar nan burik. Tambah berat badannya sepuluh kilo, dan dia akan jadi makhluk terlucu di dunia. Sayang saat ini rupanya lebih mirip korban pengungsian.
Si bocah menoleh, lalu menjerit. “Ayah!”
“Ayah dengkulmu kopong. Siapa lo?”
“Nasuha, Yah!”
“Sungguh informasi yang berfaedah.”
“Anak Ayah!”
“Lagi-lagi informasi yang berfaedah.”
“Tapi aku beneran anak Ayah!”
“Tanpa mengurangi rasa hormat, Saudari Nasuha, saya kira Anda salah orang.”
“Tapi ... nama Ayah itu Habil, kan? Habil Bestari?”
“Terus kenapa?”
Penasaran apa yang dipikirkan tetangga sebelah ketika mendengar obrolan ini. Hidung belang. Bajingan. Manusia tercela yang menolak mengakui anak hasil perzinahannya. Setidaknya dia tetap di dalam kamar dan tidak ikut campur urusan orang.
Si bocah merogoh sesuatu dari sakunya dan menunjukkannya padaku. Di tangan kecilnya yang menggigil, tergenggam sehelai foto ukuran 5R yang dibungkus plastik. Aku menyipit. Aku kenal foto itu. Aku pernah punya satu.
Ini foto kelulusanku. SMP. Ada aku di sana. Lihat? Anak laki-laki yang paling tampan dan bercahaya itu? Yang di tengah? Yang paling tinggi? Yang senyumnya begitu cerah seolah menerangi dunia? Iya, itu Kemal, teman seangkatanku, bukan aku. Aku anak yang berdiri di pinggir; hitam, agak dekil, tidak tinggi-tinggi amat.
“Iya, itu foto gue,” kataku. “Tapi kembali ke pertanyaan sebelumnya: terus kenapa?”
Si bocah membalikkan fotonya. Ada tulisan di sana. Kudorong wajahku ke kaca. Aksaranya halus dan lembut; aksara perempuan. Sebuah surat.
Habil, ini Nasuha. Aku tau kamu bakal susah percaya, tapi dia anak kamu. Aku tau kamu gak tau siapa aku, gak inget kapan hubungan kita jadi kelewatan, gak paham kenapa kamu bisa punya anak, tapi tetep aja kamu yang hamilin aku. Aku udah selesai sama dia, Hab. Sekarang giliran kamu. Besarin dia sampai dewasa. Dia tanggung jawab kamu.
Andai aku adalah seorang epitome Gen-Z yang sering borong kondom di Alfamart, kali aku sudah panik sekarang. Kali aku sudah sobek foto itu jadi tujuh ratus bagian, membakarnya dengan api suci, lalu lari sembunyi ke puncak Gunung Galunggung. Sayangnya, dengan berat hati aku harus mengatakannya lagi: aku jones. Dapat aku pastikan kalau aku tak pernah menggembungkan perut gadis mana pun di muka bumi ini.
Tapi tetep aja kamu yang hamilin aku.
Babi ngentot kontol sifilis! Ngebacot tak pakai akal sehat! Gerangan berapa liter Baygon yang ditenggak perempuan ini ketika menulis suratnya? Kecuali dia (secara sengaja atau tidak) berendam di air yang (dengan entah bagaimana) terkontaminasi limbah spermaku, maka tak ada kekuatan di muka bumi yang bisa memaksaku mengakui klaim gila ini.
Dia tanggung jawab kamu.
Yang benar saja!
Si bocah nyengir. Giginya sungguh tidak indah. “Nasuh udah nyariin Ayah ke mana-mana, tau! Nasuh pikir gak bakal pernah ketemu.” Lalu, dengan amat kasual, si bocah meraih kenop pintu dan memutarnya, yang mana terang saja masih dikunci. “Yah? Buruan buka. Nasuh dingin!”
“....”
“Yah?”
“Bukan maksud menyinggung, tapi emak lo itu kadal jablay tukang ngibul—itu pun gak jago-jago amat. Antara dia punya otak di dengkul ato dia pikir gue punya otak di dengkul. Sono balik lagi. Bilang ke dia buat pake sedikit imajinasi kalo emang beneran niat berakin orang.”
Si bocah cuma melongo, terang saja tak paham dengan apa yang kuocehkan.
“Intinya, gue bukan bapak lo.”
“Terus ayah Nasuh siapa, dong.”
“Eh kencit, mana gue tau, lah. Dipikir gue geremonya emak lo?”
“Tapi Mamah bilang Ayah yang hamilin dia.”
“Ayah siapa?”
“Ayah Habil.”
“Mana ada!”
“Kali Ayah cuma lupa.”
“Iya kali lupa kencit! Yang begituan mana gue lupa!”
“Alah. Kayak yang gak pernah lupa naro kunci kosan aja.”
“Naro peju gak seenteng naro kunci kosan!”
“Peju apaan, Yah?”
Astaga. Apa pula yang kubicarakan dengan bocah yang baru berusia sepuluh tahun? Masih waraskah aku? “Peju ... adalah ... emm ... bentuk manusia ketika masih ada di dalam bapaknya.”
“Bentuk Nasuh waktu masih di dalem Ayah?”
“....” Entah kenapa cara ngomongnya buat aku tak nyaman. “Pokoknya gue gak mungkin lupa. Buat anak itu susah banget, soalnya; jadi mustahil lupa.”
“Tapi Mamah bilang Ayah yang masukin peju ke perut dia.”
“Eittts! Eit eit eit!”
“A-apa, Yah?”
“Apaan itu peju!”
“Bentuk manusia waktu masih di dalem bapaknya.”
Mesti diakui, dia cerdik. “Gak boleh ituuu, aduh.”
“Gak boleh apaan?”
“Puja-peju begitu.”
“Tapi kok Ayah boleh?”
“Pertama, gue bukan bapak lo. Kedua, gue udah gede.”
“Kenapa orang yang udah gede boleh nyebut peju sementara orang yang masih kecil enggak?”
“Sopan-santun.”
“Jadi, kalo udah gede kita boleh ninggalin sopan-santun, gitu?”
Ah. Ampun. Terserah. “Pokoknya lo bukan anak gue sebab gue gak pernah ngentot dan gak mungkin punya anak.” Kututup tirai jendelaku.
“Yah, buka! Buka! Buka, ih!”
Pintu digedor-gedor. Berisik bukan main. Heran kenapa tetangga sebelah belum keluar juga. (Bukannya aku tak akan melakukan hal yang sama bila ada di posisi dia.) Aku menunggu si bocah menyerah dan pergi. Lama kemudian, si bocah tidak pergi. Dia mulai memekik-mekik, lalu merengek, lalu menangis. Kepalaku rasanya mau pecah. Sejak dahulu, aku sensitif terhadap suara.
“Yah, buka, Yah! Nasuh mohon .... Bukain! Bukain pintunya! Nasuh pengen masuk! Nasuh pengen masuk, ih! Bukaaaaa!” Si bocah terisak-isak.
Apa yang terjadi denganku? pikirku. Untuk suatu alasan, aku tak merasa kasihan. Aku meninggalkan seorang anak di luar, saat malam, sewaktu hujan; anehnya, hatiku tak terenyuh barang sedikit pun; yang ada, aku malah jengkel dan terdorong untuk menjotos bacot bising itu hingga semua giginya rontok. Aneh, aku tak sejahat ini dulu.
Penderitaan bisa membuat orang jadi begini. Awalnya kau cuma sakit. Kau kecewa karena usahamu selalu sia-sia. Apa pun yang kau perbuat, dunia seolah terus menghalanginya. Lalu kau kesepian. Tak ada orang yang menemanimu melewati kesulitan, tak ada orang yang mendukungmu menghadapi rintangan, tak ada orang yang memahami rasa sakitmu. Kemudian kau marah. Kau bertanya-tanya, kenapa orang lain boleh tertawa sementara kau tidak? Tahu-tahu, kau berhenti berharap dirimu bahagia dan mulai berdoa agar semua orang menderita. Bukan karena kau kejam, tapi karena itu permohonan yang lebih realistis.
“Jangan tinggalin Nasuh sendirian .... Jangan buang Nasuh kayak Mamah .... Nasuh gak mau. Nasuh gak punya siapa-siapa lagi. Nasuh ... Nasuh gak ada tempat pulang.” Tangisan si bocah kemudian berubah jadi kegaduhan tanpa kata.
Aku menghela napas.
“Dia gak bakalan minggat, kan?” kataku.
“Kalo dia emang gak punya tempat pulang lain ... kemungkinan besar gitu,” jawabku.
“Kalo gue bunuh diri sekarang, apa kata dunia?”
“Lo bunuh diri sebab kelewat takut buat tanggung jawab. Dan gak ada yang bahagia kecuali bapak asli si bocah yang bebas lepas dari hujatan massa.”
Dengan enggan, aku melepas gerendel dan membuka pintu. Si bocah melesat bagai kucing kepergok maling. Tahu-tahu, dia sudah melekat di kakiku dengan wajah terbenam di pinggangku.
“Lama bangeeeet!” protesnya, lalu kembali menangis. “Jahat! Tega! Keji! Nasuh kedinginan tauuuuuu!”
“Asal lo tau, gue belum ngakuin lo sebagai anak gue.”
“Belum?” Si bocah mendongak. Cahaya lampu teras gemerlap ketika menerpa aliran ingusnya. “Kalo belum ... berarti bakal?”
“Gak gitu juga.”
“Ayah gak tau? Belum itu berarti masih dalam keadaan tidak, bukan selamanya dalam keadaan tidak. Omong-omong, masih itu berarti sedang berlangsung.”
Oh Tuhan. Makhluk ini benar-benar luar biasa berisik. “Belum di sana, eh Bang Jago, bukan dalam konteks masih tidak, tapi tadi enggak, sekarang juga.”
Si bocah mengernyit sambil menyedot ingusnya. “Gak gitu di KBBI.”
“KBBI?”
“Ayah gak tau? KBBI itu Kamus Besar Bahasa Indonesia. Omong-omong, kamus itu berarti buku yang isinya penjelasan buat—”
“Iya, iya! Gue tau!” Astaga, bacotnya tak beres-beres! “Lo bener! Gue salah! Puas?”
Si bocah akhirnya diam juga. Sayang cuma dua detik. “Yah, dingin.”
“....”
“Yah! Dingin, ih! Gak lihat Nasuh basah begini! Oke, Nasuh akuin, Nasuh suka hujan-hujanan ... tapi gak sampe tengah malem juga! Dingin! Dingin banget! Dingin sampe ke tulang! Jari Nasuh udah mati rasa. Ah! Tidak! Hipotermia! Jari Nasuh jadi biru! Gimana ini? Nasuh gak mau diamputasi—”
Jadi, tak ubahnya bapak-bapak duda yang ditinggal kabur istrinya, aku membantu si bocah mengeringkan badan dan mengganti pakaian. Aku bahkan membantunya membersihkan ingus, yang mana untuk suatu alasan, dia dapati sulit untuk dilakukan.
“Teken di sini. Jangan di atas hidung, Kencit. Di samping. Iya. Sekarang, tiup yang keras. Heu!”
Si bocah melotot girang ketika segumpal lendir najis terjun ke lantai toilet, nyaris mengenai kakiku. “Woah! Hebat! Kok bisa?” Dia mengulangnya untuk lubang hidung yang lain, lalu kembali memekik. “Betapa efisien!”
“Heran kenapa lo tau efisien tapi gak tau cara buang ingus. Emang emak lo gak pernah ajarin, apa?”
Untuk suatu alasan, si bocah cuma manyun dan angkat bahu.
Aku menemukan banyak hal di dalam ransel si bocah, mulai dari koleksi korek api bekas, sendok bergagang tajam, senter mati, kepala boneka bayi, sebotol berudu, hingga KBBI edisi keempat. Anehnya, tak ada pakaian ganti. Terpaksa aku pinjami dia pakaianku sendiri (kalau memang itu kaus masih bisa disebut pakaian).
Beberapa menit kemudian, si bocah duduk bersimpuh di lantai. Aku membuka tirai jendela agar cahaya lampu teras bisa masuk. Kudapati dia macam kain pel yang bernapas. Mungkin sebab ukuran pakaianku yang kedodoran. Atau sebab warna hitamnya yang luntur jadi kelabu. Atau sebab sablonan “HMTS” (Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil) yang kehilangan huruf H-nya dan menjadi “MTS” (Madrasah Tsanawiyah). Atau sebab rambut ikal si bocah, kini separuh kering, menggembang macam adonan yang kebanyakan femipan.
Sebuah dusta andai aku mengaku tak pernah mencari tanda DNA-ku pada diri si bocah. Aku memang melakukannya, lalu menemukannya; pertama di alis, lalu di telinga. Tapi itu saja. Tak bakal ada orang yang mengira kami adalah kerabat. Lagi, aku menolak mengakui si bocil laknat sebagai buah nafsuku dengan seorang gadis misterius.
“Yah,” katanya.
Aku diam saja.
“Ayah, ih! Nasuh jangan didiemin!”
Aku mengorek telingaku. “Lo ngomong ke gue?”
Si bocah mendadak celingukan, mata membeliak. “Ada orang lain di sini?” bisiknya, lalu buru-buru merayap ke arahku—
“Bukan itu yang gue maksud.”
“Terus apaan, dong! Bicara yang jelas, jangan plintat-plintut!”
“Plintat-plintut ....”
“Maksudnya plin-plan. Ayah tau plin-plan apaan? Plin-plan itu—”
“Iya, iya, gue tau; tapi gimana lo tau?”
“KBBI.”
Aku meraih KBBI tua yang sudah ketinggalan dua edisi itu. Anjir. Baru kali ini aku bertemu anak 10 tahun yang doyan baca kamus. “Gak. Maksud gue ... jangan panggil gue Ayah!”
Si bocah menelengkan kepala bulatnya. “Papah?”
“Gak!”
“Bapak?”
“....”
“Papi? Abah? Abi? Babe? Rama—”
“Gak gitu, gak gitu! Gue sama lo gak ada hubungan apa-apa!”
Si bocah cemberut. “Om?”
“Gak gitu jugaaaaa!”
“Apaansi, ih, ribet bangeeet! Panggilan buat laki-laki yang seusia ayah tapi bukan ayah itu ya om. KBBI juga bilang gitu. Liat aja sendiri.”
“Gue baru 26!”
Si bocah menyipit sangsi.
“Oke, 27.”
“Dua puluh tujuh itu ya udah om-om.”
“Mana ada masih abang-abang lah!”
Bibir si bocah menekuk.
“Apaan sama itu bibir!”
“Aaaah, Ayah rempong, ah! Kalo Nasuh bilang Ayah ya Ayah! Gak ada tapi-tapi!”
“Tapi—”
“Gak ada tapiii!”
“Tapi mana buktinya?”
Si bocah mengacungkan surat dari ibunya.
“Semua orang juga bisa kalo cuma nulis doang.”
“Oke.” Si bocah bersedekap, sikut pendeknya hilang di balik lengan kaosku. “Ayah bilang Ayah bukan ayah Nasuh.”
“Emang.”
“Mana buktinya?”
“Dibilangin gue gak pernah inget ngebikin lo.”
“Semua orang juga bisa kalo cuma ngomong doang.”
“....” Astaga. Dan katanya dia baru sepuluh tahun? “Dalam kasus seperti ini, kita berpulang ke asas praduga tidak bersalah. Lo tau asas itu apaan?”
Tentu saja dia tahu. “Dasar hukum.”
“Menurut asas praduga tidak bersalah, setiap orang dinyatakan tidak bersalah sampai terbukti bersalah. Gue belum terbukti bersalah; gue tidak bersalah.”
Si bocah terdiam, wajahnya mengernyit dengan menjijikkan. “Itu gak masuk akal.”
“Apanya yang gak masuk akal?”
“Kalo ada yang bener, harus ada yang salah. Kalo pengakuan Ayah bener, berarti pengakuan Nasuh salah. Tapi Nasuh belum terbukti bersalah, jadi Nasuh gak salah. Kalo Nasuh gak salah, Ayah yang salah.” Si bocah kian mengerutkan wajahnya. “Teruuus kayak gitu. Gak ada abisnya, dong?”
Serius. Dia baru sepuluh tahun? Waktu aku berumur sepuluh tahun, aku masih sibuk meneror sarang semut di pekarangan rumah orang tuaku dengan petasan. Ibu anak ini pasti pintar. Mantan pacarku, Safa, adalah juara umum angkatanku ... tapi begitu pula dengan Nanda. Akan tetapi, jika dilihat dari kebawelan dan kereseannya, dia lebih mirip Rintik.
Sepuluh tahun? Benar. Sudah sepuluh tahun semenjak aku terakhir melihat mereka.
Mengingat tentang gadis-gadis masa laluku membuat hatiku sesak. Mereka sekarang ada di mana? Sudah mengenyam pendidikan sampai mana? Bekerja apa? Menikah dengan siapa? Punya anak berapa? Aku penasaran pria beruntung macam apa yang kini mereka sandari. Pria hebat, pastinya; seorang yang mapan, mandiri, dan bertanggung jawab; kebalikannya dari diriku.
Lalu aku bertanya-tanya, Apakah ada dari mereka yang masih memikirkanku? Kemudian aku sadar, Memang ada manusia yang masih memikirkanku? Aku bukan orang penting, sama sekali tak bernilai di mata siapa pun. Sesuatu yang mengherankan, sebenarnya, sebab manusia perlu merasa bernilai untuk bisa terus hidup.
Kenapa aku masih hidup?
Habil? Kenapa kau masih hidup?